Amal Khair Yasmin

Al-Gaib

Al-Gaib Dalam Alqur’an Tuhan pertama-tama menyebut diriNya Ar-Rahman (Pengasih, QS I-1), lalu Ar-Rahim (Penyayang, QS I-1), dan Al-Ghaib (Yang Gaib, QS II – 3). Mufassir umumnya menerjemahkan Al-Baqarah 3 (QS II-3) ini dengan “Orang-orang yang beriman kepada alam gaib”. Tapi ada sebagian ulama yang menerjemahkannnya, “orang-orang yang beriman kepada Al-Ghaib”. Al-Ghaib adalah Tuhan itu sendiri. Yaitu, Tuhan sebagai Entitas Ghaib.

Kenapa Al-Ghaib harus diimani dan diyakini keberadaaNYA? Karena kegaiban adalah fakta, meski berada di luar realitas berbasis rasio dan logika. Kegaiban adalah terra incognita yang mempunyai rumus dan artikulasi tersendiri di luar realitas yang bisa dibuktikan secara saintifik. Memang ada ilmuwan yang menganggap bahwa teori relativitas Einstein adalah sains pembuka kegaiban. Ia mengabaikan fakta bahwa teori relativitas adalah perumusan matematis dari sebuah premis Einstein bahwa cahaya adalah sebuah kecepatan tertinggi yang bisa dicapai oleh gerakan sebuah partikel. Poincare, matematikus Prancis, misalnya menolak premis Einstein tersebut meski ia mengakui bahwa teori relativitas telah mengubah secara mendasar paradigma mekanika klasik Newton yang kita lihat sehari-hari. Poincare percaya bahwa ada kecepatan yang lebih besar dari cahaya. Seandainya prediksi Poincare terbukti, niscaya ada revolusi sains pasca teori relativitas Einstein. Itukah fenomena gaib? Tidak! Selama teorima itu masih berada dalam koridor logika dan rasio manusia, jelas ia bukan fenomena gaib.

Fenomena gaib adalah sebuah realitas faktual yang tak terjamah logika dan rasio. Bukan sekadar realitas imajiner yang bisa dirumuskan melalui pendekatan fisika dan matematika. Meski demikian, fenomena gaib adalah fakta. Karena itu, untuk memahami kegaiban kuncinya hanya satu: berimanlah pada Al-Ghaib, pada Kemutlakan Kehendak Tuhan yang tidak tunduk pada logika dan rasio. Ini karena wilayah kegaiban adalah wilayah terra incognita yang tak bisa dikaji oleh kekuatan logika dan rasio manusia. Itulah sebabnya, jika kita memahami kegaiban, yang seharusnya kita lakukan adalah pasrah, berserah diri, dan tunduk mutlak tanpa reserve. Dalam bahasa Qur’an disebutkan: tidak ada daya dan kekuatan manusia keculi dari Allah.

Kegaiban adalah realitas tanpa batas, melampaui dimensi logika, ruang, dan waktu. Sebagai contoh Tuhan berfirman, bersedekahlah, maka kau akan kaya karena mendapatkan 700 kali dari apa yang kau sedekahkan. Logika apa yang membenarkan orang yang memberikan hartanya justru akan bertambah kekayaannya. Secara matematis, jelas bertentangan dengan logika manusia. Tapi fakta membenarkannya.

Banyak sekali pernyataan gaibis (untuk menyepadankan dengan kata logis) yang tertera dalam kitab suci. Misalnya, Yesus (Isa) pernah menghidupkan orang mati. Abraham (Ibrahim) dibakar api tapi tidak sedikit pun merasa kepanasan. Solomon (Sulaiman) pernah memindahkan istana Ratu Balqis secepat kedipan mata. Muhammad pernah naik ke langit (Mi’raj) bertemu dengan Tuhan. Atau Anda sendiri, tiba-tiba melihat catatan dosa-dosa anda di layar film yang tiba-tiba muncul di hadapan anda seperti pernah dialami banyak jemaah haji. Itu semua baru secuil fenomena kegaiban yang muncul secara realistis.

Pada akhirnya, realitas gaib terbesar yang pasti akan kita hadapi adalah kehidupan setelah kematian. Sebuah kehidupan yang abadi, indah, adil, sempurna dan superistimewa. Kehidupan sperti itulah yang diburu orang-orang beriman dengan mengorbankan harta, tenaga, dan jiwa. Puasa Ramadhan adalah salah satu “jalan” untuk mencapai realitas gaib yang abadi dan tak terbatas itu.