Amal Khair Yasmin

Anak-anak dengan Sarana Pendidikan Terlantar

Anak-anak Indonesia yang belum bisa menikmati pendidikan dasar ternyata masih sangat banyak. Padahal salah satu kebutuhan anak yang paling vital adalah pendidikan dasar tadi. Sayangnya di nusantara ini, infrastruktur yang menunjang pendidikan masih compang-camping, baik di kota besar, kota kecil maupun kota terpencil.

Tahun 2015 lalu, misalnya, kita dikejutkan dengan berita ambruknya jembatan penyebrangan (terbuat dari kayu) di Sungai Ciberang Desa Sindai, Kecamatan Sajira, Kabupaten Lebak, Banten. Jembatan kayu berusia 27 tahun itu ambruk saat anak-anak berjalan di atasnya hendak berangkat ke sekolah. Sebanyak 45 siswa sekolah dasar pun tercebur di sungai. Ambruknya jembatan kayu yang sudah tua itu melukai 11 anak. Yang jadi pertanyaan: jembatan vital yang tiap hari dilalui ratusan anak yang mau sekolah itu, kenapa tidak pernah diperbaiki? Kenapa pemerintah daerah (Kabupaten Lebak) tidak membangun jembatan yang lebih kokoh sejak dulu? Jika Pemda setempat menyatakan tidak ada anggaran, jelas nonsens. Alokasi dana APBN/APBD untuk pembangunan infrastruktur secara nasional sangat besar. Karena itu kejadian tersebut lebih menunjukkan “wajah ketidakpedulian” pemerintah terhadap kehidupan dan masa depan anak-anak.

Gambaran kasus jembatan ambruk yang menceburkan 45 anak-anak ke Sungai Ciberang itu adalah cermin buruknya infrastruktur pendidikan secara tidak langsung. Sedangkan gambaran compang-campingnya infrastruktur pendidikan secara langsung terlihat dalam ambruknya ribuan gedung sekolah dasar dalam dua tahun terakhir masa pemerintahan Jokowi. Sekolah-sekolah yang ambruk itu, tidak hanya berada di wilayah terpencil seperti di Papua dan Maluku, tapi juga di wilayah perkotaan, bahkan di ibu kota yang jaraknya hanya beberapa kilo meter dari istana merdeka. Tahun 2015 lalu, misalnya, sebuah bangunan SD roboh di Klender, Jaktim. Akibatnya, 293 siswanya diungsikan. Robohnya SDN 15 Klender ini menunjukkan betapa Pemda DKI yang anggarannya mencapai Rp 70 triliun abai terhadap pendidikan anak-anak. Itu baru infrastruktur gedung. Belum kebutuhan anak-anak yang lain seperti tempat bermain, olahraga, latihan seni, dan pengembangan kreativitas – hampir semuanya terabaikan. Tiadanya sarana-sarana pengembangan potensi anak-anak tersebut mengakibatkan anak-anak di Jakarta sering tawuran. Fenomena tawuran ini celakanya terbawa sampai anak-anak menjadi murid SMA bahkan mahasiswa di perguruan tinggi.

Kita tahu anggaran pendidikan nasional besar sekali mencapai sekitar 400-an trilyun rupiah dalam dua tahun terakhir. Tapi sarana dan prasarana pendidikan masih banyak yang terlantar, terutama di daerah. Di daerah terpencil bukan hanya infrastruktur gedungnya yang memprihatinkan, tapi juga pengadaan guru-gurunya. Padaahal, pendidikan bagi anak-anak di daerah sangat penting untuk memeratakan tingkat keterpelajaran penduduk Indonesia.

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), pada 2015, jumlah ruang kelas yang rusak 149.552 buah. Jumlah ini terdiri dari 117.087 ruang kelas di SD dan 32.465 ruang kelas di SMP. Gambaran ini jelas sangat memprihatinkan di tengah “kampanye” pendidikan gratis untuk semua.

Kita tahun Undang-undang Dasar 45 pasal 31 menyebutkan, (1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. (2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. (3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan Undang-Undang. (4) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. (5) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia. Makna dari Pasal 31 UUD 1945 tersebut adalah setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan tanpa kecuali. Pada kenyataannya, dengan kondisi negara Indonesia yang sangat luas dan terdiri dari ribuan pulau, mulai Sabang sampai Merauke, kita dihadapkan dengan berbagai permasalahan pelayanan pendidikan bagi masyarakat. Padahal pendidikan merupakan faktor utama dalam menentukan kemajuan sebuah bangsa. Dengan tingkat pendidikan yang tinggi, maka akan semakin baik sumber daya manusia yang ada, dan pada akhirnya akan semakin tinggi pula daya kreatifitas pemuda Indonesia dalam mengisi pembangunan sebuah bangsa. Namun di Indonesia, untuk mewujudkan pendidikan yang baik dan berkualitas sesuai dengan standar nasional saja masih sangat sulit.

Seperti terpapar di atas, berbagai permasalahan seringkali menghambat peningkatkan mutu pendidikan nasional, khususnya di daerah tertinggal atau terpencil, yang pada akhirnya mewarnai perjalanan pendidikan di Indoensia. Di suatu daerah terpencil masih banyak dijumpai kondisi di mana anak-anak belum terlayani pendidikannya. Angka putus sekolah yang masih tinggi. Juga masalah kekurangan guru, walaupun pada sebagain daerah, khususnya daerah perkotaan persediaan guru berlebih. Sarana dan prasarana belum memadai. Itulah sederat fakta-fakta yang menghiasai wajah pendidikan kita di daerah terpencil.

Betul, masyarakat disuguhi janji manis pemerintah: Anggaran pendidikan yang 20% dari APBN bisa mengatasi problem anak-anak tidak sekolah dan putus sekolah di seluruh Indonesia. Anggaran tersebut bisa menggratiskan anak-anak untuk mencapai pendidikan tingkat dasar sampai menengah pertama selama sembilan tahun. Faktanya? Yang gratis cuma biaya SPP. Buku, baju, transportasi, dan makan (jajan) tak ada yang gratis. Padahal yang mestinya pendidikan gratis semuanya harus gratis termasuk seragam, transportasi, dan makan di sekolah.

Berdasarkan data UNICEF (Badan Pendidikan PBB) tahun 2015, sebanyak 2,5 juta anak Indonesia yang seharusnya bersekolah tidak dapat menikmati pendidikan. Nereka terdiri atas 600.000 anak usia sekolah dasar (SD) dan 1.9 juta anak usia sekolah menengah pertama (SMP). Kenapa terjadi? Karena sekolah untuk anak-anak selama sembilan tahun (SD-SMP) “memang tidak gratis” dan memberatkan.

Kalau mau pendidikan gratis, belajarlah dari Finlandia. Sekolah di negeri itu menyediakan semua sarana dan prasarana pendidikan secara gratis. Mulai pakaian seragam, makan siang, transportasi, kesehatan di sekolah, latihan kesenian, musik, dan lain-lain peningkatan kapasitas anak semuanya diselenggarakan secara gratis. Akibatnya, anak-anak pun senang sekolah. Tingkat literasi anak-anak sangat berkembang. Sistem pembelajarannya dibuat sedemikian rupa sehingga anak-anak senang bersekolah. Tak ada sistem peringkat di sekolah dan tak ada ujian nasional yang membuat anak-anak stres. Semua anak dianggap pinter dan sekolah mau menggali potensi anak secara spesifik untuk dikembangkan. Hasilnya: PBB menetapkan Finlandia sebagai contoh negara yang mampu menyelenggarakan pendidikan dengan kualitas terbaik di dunia.

Di hari anak ini, kita bangsa Indonesia harus benar-benar memberikan “perhatian lebih” kepada mereka. Sebab, wajah anak-anak hari ini adalah wajah Indonesia masa depan. Anak-anak adalah aset negara paling berharga. Orang Jepang bilang, anak-anak adalah harta karun yang tak ternilai harganya. Karena itu anak-anak harus dijaga, dirawat, dididik, dan dikembangkan potensi terbaiknya untuk mewujudkan Indonesia yang kuat dan jaya di masa depan.