Amal Khair Yasmin

Hari Buku untuk Pendidikan Nasional

Setiap 17 Mei Bangsa Indonesia memperingati Hari Buku Nasional. Sebuah peringatan yang tidak semua orang mengetahuinya. Mungkin hanya orang-orang tertentu yang gemar membaca saja yang sadar bahwa Bangsa Indonesia sebenarnya berusaha untuk menghargai buku sehingga memiliki Hari Buku Nasional. Hari Buku Nasional (HBN) memang tak seheboh Hari Kemerdekaan Nasional (17 Agustus) atau Hari Pahlawan (10 Nopember). Tapi tidak berarti HBN tidak mempunyai arti penting bagi bangsa Indonesia. Malahan sebaliknya, HBN sebetulnya punya arti yang sangat besar bagi perkembangan dan kemajuan bangsa. Ini karena buku adalah mitra pendidikan yang tak terpisahkan. Dan pendidikan nasional adalah landasan terpenting untuk membangun bangsa.

Sejarahnya, pemerintah Indonesia sengaja menetapkan tanggal 17 Mei sebagai HBN sejak tahun 1980. Keputusan tersebut berkaitan dengan pembangunan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI) yang berlokasi di Kota Jakarta kala itu. Suatu kebijakan pemerintah yang pantas kita acungi jempol. Kenapa? Karena pemerintah menyadari peran penting buku untuk memajukan peradaban bangsa. 

Marcus Tullius Cicero, negarawan Romawi kuno menyatakan: Life without book is like body without soul. Kehidupan tanpa buku bagai tubuh tanpa jiwa. Ini artinya, jika dalam hidupnya seseorang tidak pernah membaca buku, maka jiwanya akan mati. Kalau jiwa mati, hidupnya pun tidak berarti. Keberadaan buku dalam kehidupan manusia sangat penting. Karena melalui buku yang dibacanya manusia mampu menemukan informasi atau ilmu yang belum pernah dipraktikannya, belum pernah dikunjunginya, belum pernah dilihatnya, dan belum pernah dirasakannya. Orang yang membaca buku sejarah Nabi Muhammad, misalnya, akan tahu bagaimana perilaku dan ahlak Nabi, meski orang itu tidak pernah mengenal Nabi secara langsung. Dan kehidupan Nabi itu bisa dibaca generasi yang hidup jauh setelah Nabi wafat karena ada orang yang mencatatnya dalam buku. Jadi, dengan adanya buku itu, manusia yang tidak terlibat pada kejadian masa lalu, tetap bisa mendapatkan ilustrasi dan informasi tentang kejadian masa lalu tersebut.

Ada pameo yang menyatakan: verba valet, scripta manent. Artinya: lisan atau ucapan bisa saja hilang begitu saja, namun tulisan atau buku tetap ada sepanjang masa. Itulah keajaiban buku. Tanpa buku, suatu pengetahuan tidak akan pernah terwariskan pada generasi selanjutnya. Masalahnya adalah, apakah peringatan HBN mampu membangkitkan minat baca masyarakat? Apakah HBN mampu menyadarkan pemerintah untuk mendorong masyarakat agar gemar membaca? Jawabnya, ternyata belum. Minat baca bangsa Indonesia ternyata sangat rendah. Bahkan lebih rendah dibandingkan negeri seperti Thailand dan Vietnam. Hal ini terlihat dari jumlah judul buku yang diterbitkan tiap tahun dan jumlah buku yang terjual di pasaran. Hasil penelitian tentang kemampuan “literasi” dari penduduk negara-negara di dunia yang dilakukan Central Connecticut State University, AS, menyebutkan Indonesia berada pada peringkat ke-60 dari 61 negara yang diteliti. Ini artinya, tingkat “membaca, memahami, dan menganalisis” suatu permasalahan bangsa Indonesia melalui bacaan, buku atau penerbitan sangat buruk. Hanya satu tingkat dari yang terburuk di dunia. Semua ini terjadi karena masyarakat Indonesia belum reading minded. Belum punya kegemaran membaca; belum menjadikan buku sebagai kebutuhan hidup.

Kurangnya minat baca bangsa Indonesia ini, misalnya, terlihat dari jumlah judul buku yang diterbitkan tiap tahun. Pada tahun 2009, misalnya, jumlah buku yang diterbitkan di Indonesia hanya 20.000-an judul. Padahal pada tahun yang sama, Inggris yang penduduknya kurang dari sepertiga Indonesia menerbitkan 180.000 judul. Sementara Vietnam, negeri yang relatif baru merdeka dengan jumlah penduduk sepertiga dari Indonesia bisa menerbitan 25.000 judul buku. Dari gambaran itu, Indonesia masih jauh sekali untuk menjadi negeri yang masyarakatnya reading minded.

Kenapa hal itu terjadi? Penyebabnya banyak faktor. Harga buku mahal, perpustakaan yang memadai dan nyaman jarang sekali (apalagi di kota kecil), sekolah tidak memacu siswa untuk gemar membaca, orang tua kurang mendidik anaknya untuk rajin membaca, masyarakat tak peduli dunia perbukuan, dan lain-lain. Banyak sekali! Dengan memperingati HBN ini, kita semua menyadari bahwa kita sangat tertinggal dalam “dunia baca tulis” yang menjadi ruh kemajuan bangsa. Semua ini jelas terkait dengan sistem pendidikan di Indonesia. Semua stake holder bangsa hendaknya memikirkan hal ini secara serius. Bagaimana meningkatkan minat baca dan menulis tersebut!