Amal Khair Yasmin

Kartini dan Pendidikan Kaum Wanita

Tiap tanggal 21 April, Bangsa Indonesia memperingati Hari Kartini. Hari Kartini diperingati karena kita berhutang budi atas jasa-jasa Raden Ajeng Kartini (21 April 1879 – 17 September 1904) untuk meningkatkan pendidikan kaumnya, wanita Indonesia.

Sejak muda, Kartini punya cita-cita untuk mengangkat harkat kaum wanita. Saat itu, di abad ke-18, wanita di Jawa memang perannya sangat marjinal. Sebagian besar wanita saat itu buta huruf. Mereka juga kebanyakan nikah di usia dini. Dalam kondisi itulah Kartini muda punya cita-cita ingin mengangkat derajat kaum wanita Indonesia agar setara dengan kaum pria. Menurut Kartini, perempuan dan laki-laki harus saling memerdekakan, saling memajukan, dan bersanding bersama melahirkan keadilan.

Di zaman Kartini hidup, perempuan tidak berhak mendapat kesempatan memperoleh hak yang sama dengan kaum laki-laki. Sehingga tidak mengherankan apabila kegiatan perempuan hanya seputar dapur (memasak), sumur (mencuci), dan kasur (melayani kebutuhan biologis suami). Pemetaan wilayah kerja semacam itu, kemudian dirangkaikan dengan tugas tradisional perempuan yaitu macak (berhias untuk memyenangkan suami), manak (melahirkan), dan masak (menyiapkan makan bagi keluarga).

Orang Jawa menilai perempuan harus taat pada suaminya tanpa reserve. Hal itu tercermin dari slogan tatakrama Jawa: swarga nunut neraka katut. Ini artinya, perempuan tidak memiliki peran sama sekali dalam membangun keluarga dan negara. Hal ini menunjukkan betapa sempitnya ruang gerak dan pemikiran perempuan sehingga perempuan tidak memiliki cakrawala di luar tugas-tugas domestiknya.

Kartini mendobrak kondisi yang memprihatinkan tersebut dengan membangun sekolah khusus wanita. Selain itu, ia juga mendirikan perpustakaan bagi anak-anak perempuan di sekitarnya. Bagi kartini, pendidikan untuk perempuan adalah keharusan. Kartini yakin, wanita yang terdidik kelak juga akan mendidik anak-anak (perempuan)-nya dengan lebih maju. Kata Kartini, dari perempuan manusia menerima pendidikannya yang pertama-tama; lalu di pangkuannya anak belajar merasa, berpikir, dan berbicara. Lalu, bagaimana ibu-ibu bumiputera itu dapat mendidik anak-anak mereka kalau mereka sendiri tidak terdidik?”

Sebagai tokoh pendidikan di Indonesia, Kartini tidak ketinggalan menyumbangkan pemikirannya dalam menghadapi persoalan ini. Menurutnya, dalam menghadapi berbagai masalah kehidupan yang semakin komplek baik laki-laki maupun perempuan harus mempunyai bekal yakni pendidikan. Karena pemerintah tidak akan mungkin memberikan dan menyediakan segala yang dibutuhkan rakyat secara instan, maka pemerintah harus memberikan daya upaya agar rakyat mampu memenuhi kebutuhannya sendiri. Dalam suratnya kepada nona Zeehandeler (12 Januari 1900), Kartini menyatakan:

“Pemerintah tiada akan sanggup menyediakan nasi di piring bagi segala orang Jawa untuk dimakannya, tetapi pemerintah dapat memberikan daya upaya, supaya orang Jawa itu dapat mencapai tempat makanan itu. Daya upaya itu ialah pengajaran.” Kartini juga berpendapat bahwa kesempatan yang sama untuk mendapatkan pendidikan harus diberikan kepada seluruh anak Indonesia, baik laki-laki-perempuan, kaya-miskin, dan lain-lain tanpa membedakan suku, agama, ras, maupun golongan.

Laki-laki dan perempuan, pria dan wanita serta seluruh anak bangsa mempunyai tanggung jawab terhadap tanah airnya, terhadap bangsanya menuju masyarakat yang adil dan makmur, tidak ada lagi ketertindasan manusia yang satu dengan lainnya, tidak ada ketertindasan bangsa satu dengan lainnya. Sebagai mana surat yang pernah ditulis Kartini pada bulan Januari 1903 :

“Memberi kesempatan kepada anak bangsa Jawa laki-laki dan perempuan untuk mencari kepandaian agar mereka mampu membawa tanah air dan bangsanya kearah perkembangan jiwa, kearah kecerdasan pikiran serta kemakmuran dan kesejahteraan .…”. Itulah obsesi Kartini yang sampai kini tetap relevan dengan zamannya.