Amal Khair Yasmin

Mencintai Anak, Membahagiakan Anak

Cinta adalah ungkapan pertama yang dirasakan anak ketika ia lahir ke dunia. Tapi dalam perkebangannya, cinta yang dirindukan anak itu kadang menjauh. Bahkan tak pernah lagi dirasakannya, sehingga anak kehilangan sesuatu yang amat dibutuhkannya. Kenapa demikian?
Hal itu tergantung dari, bagaimana cara Anda mengungkapkan cinta pada anak. Bisa jadi, ungkapan cinta anda kepada anak – bila tidak tepat, justru akan berdampak sebaliknya.

Kita tahu, cinta adalah masalah yang kompleks. Cinta adalah sebuah energi yang dahsyat. Karena itu, jangan abaikan cinta. Khususnya kepada anak-anak kita. Karena anak-anaklah yang paling membutuhkan cinta. Dalam konteks keluarga, orang tua pastilah ingin mengekspresikan cintanya kepada anak dengan selalu berupaya membahagiakan buah hatinya. Mereka ingin selalu dapat memberi pujian dan pelukan hangat, melayani kebutuhan anak, dan, mungkin saja, membelikan apa pun yang diminta anak. Semua dilakukan atas nama cinta.

Tapi, sejauh mana ekspresi cinta itu? Di manakah batasnya? Kapan kita tahu bahwa kita telah berlebihan mencintai anak? Ini persoalan gampang-gampang susah. Banyak orang sulit mengatakan tidak pada anak. Apalagi bila kita tahu betapa cinta itu sangat diperlukan bagi perkembangan anak, termasuk dalam soal kesehatan fisik.

Uang Bukan Segalanya.
Ekspresi cinta orang tua pada anak akan mempengaruhi proses tumbuh kembangnya. Di lima tahun pertama usianya, anak tengah mencari rasa aman. Ini didapat ketika ia merasakan anggota-anggota keluarga mencintainya. Rasa aman lebih lanjut akan mengembangkan rasa percaya diri pada anak tersebut kelak. Ekspresi cinta yang terus dirasakannya juga akan mengajarkan anak untuk berempati pada orang lain, dan mendukung proses trust building anak pada individu lain.

Tapi sekali lagi, sangat mungkin bagi orang tua untuk mencintai dengan cara yang kurang bijaksana. Ini misalnya terjadi bila kita terlalu mengutamakan cara yang bersifat materialistis. Membelikan mainan atau barang bagi anak secara nonstop atau selalu mengabulkan rengekannya bukanlah cara yang tepat. “Money can’t buy love ,” kita ingat saja lirik lagu Beatles itu.

Masalah terbesar dengan tabiat (selalu menuruti kemauan anak) ini ialah, ia dapat menghambat tumbuhnya rasa empati pada anak. Anak lama-kelamaan akan menjadi kurang sensitif pada lingkungannya jika ia terlalu mengasosiasikan cinta dengan mainan atau cindera mata. Jadi, jangan terlalu sering memberikan uang atau hadiah kepada anak. Carilah momen yang tepat untuk memberikan hadian pada anak. Momen yang tepat dalam mengekspresikan cinta anak akan berdampak baik dan memberi kenangan tersendiri bagi anak. Misal, momen ulang tahun, momen kenaikan kelas, momen menjadi juara lomba, dan lain-lain.

Bila orang tua terlalu berlebihan mengekspresikan rasa cintanya pada anak, membuat anak terbiasa memusatkan cinta ini pada diri sendiri. Ia akan terus menuntut dan mengharapkan orang lain terus memberinya cinta. Akibatnya, anak tak mampu membina empathic complex, yaitu pertalian emosional dengan orang lain.

Melihat contoh-contoh di atas, mungkin Anda berpikir, dari mana kita bisa mendapat ide untuk mengekspresikan cinta bagi anak? Jawabnya, perhatikan kebiasaan anak-anak. Perhatikan apa yang paling disukainya? Apa yang paling dibencinya. Galilah potensi-potensi yang ada pada anak. Jika potensi itu positif, kembangkan dan bangun potensi anak itu.

Ingat, tidak ada anak yang bodoh. Semua anak adalah pinter. Cerdas. Setiap anak mempunyai kecerdasan spesifik. Dan itulah yang harus kita kembangkan. Anak yang suka musik, kembangkan bakat musiknya. Anak yang pinter melukis, kembangkan potensi dan bakat melukisnya. Dengan demikian, kita orang tua mampu mencerdaskan sekaligus membahagiakan anak.