Amal Khair Yasmin

Pendidikan Perdamaian!

Kamis kemarin (14/1/016) Jakarta mencengkam. Bom berdebum. Senjata menyalak. Kawasan jantung Jakarta – Sarinah dan Monas yang jaraknya sepelemparan batu dari istana – gempar. Tujuh orang tewas, lima di antaranya pelaku teror, 24 orang lainnya luka berat.

Yang menaik, di tengah kegemparan teror itu, ada tukang ajeg sedang berusaha membantu seorang wanita yang terluka untuk lari dari lokasi kejadian. Foto tukang ojek yang muncul di medsos langsung mendpat sambutan netizen. Kantor pusat Gojek langsung merespon. Hari itu, penumpang gojek gratis. Begitu pula Grabbike. Tujuannya agar masyarakat – khususnya yang berada dekat lokasi ledakan bom – bisa pergi jauh menghindari “teror spot” tersebut.

Di sisi lain, kaum netizen langsung mengajak berdoa untuk keselamatan warga dan perdamaian. Semua orang — mulai tukang becak, tokoh agama, pebisnis, artis, guru, pedagang kecil, dan lain-lain – mengutuk pelaku pemboman tersebut. Kutukan dan kecaman yang tersebar secara viral digital ini langsung mendapat respon dunia. Negara-negara sahabat langsung menawarkan bantuan untuk mengatasi tragedi terorisme Thamrin itu. Para pemimpin dunia langsung menelpon Presiden Jokowi mengucapkan belasungkawa dan menawarkan bantuan untuk menyelidiki siapa dalang di balik aksi teror tersebut. Luar biasa.

Gambaran di atas menunjukkan betapa cepatnya penyebaran viral berita di era digital itu. Hanya dalam beberapa menit, sebuah kejadian di suatu tempat langsung mendapat respon seluruh dunia. Peristiwa terorisme Thamrin, dilihat dari skala korban dan magnitude pemboman sebetulnya kecil saja, jauh dibandingkan peristiwa terorisme Paris, 13 Desember lalu, yang menewaskan ratusan orang. Namun dilihat dari modusnya, hampir sama. Ini artinya, jika suatu ketika para teroris punya kesempatan yang lebih besar dengan bom dan senjata yang lebih banyak, bukan tak mungkin “Tragedi Paris” itu terulang di Jakarta.

Kembali ke tukang ojek dari Gojek yang memberikan bantuan tadi. Peristiwa itu kelihatan kecil. Tapi aksi tukang ojeg itu mendapat simpati demikian luas, yang akhirnya membentuk viral ajakan mengutuk terorisme dan ajakan membangun perdamaian. Dengan demikian, perbuatan baik tukang ojek itu, menginspirasi semua orang untuk berbuat.

Perbuatan kecil, jika menginspirasi, akan menjadi “perbuatan besar” . Jika kita berbuat baik kepada seseorang – mungkin secara materi kecil sekali – tapi jika itu menjadi inspirasi semua orang dampaknya luar biasa. Ada anak kecil yang tak mampu membeli buku tulis, misalnya, lalu kita belikan buku itu yang harganya mungkin hanya ribuan rupiah – peristiwa kecil itu akan bisa menimbulkan dampak sangat besar. Pertama, siapa tahu anak yang kita beri buku itu kelak menjadi “pejabat tinggi atau orang kaya” — kemudian ia ingat “pemberian buku” itu, lalu dia mendirkan lembaga filantropi untuk menyantuni orang miskin dengan memberikan buku kepada anak-anak sekolah. Kedua, siapa tahu pemberian buku itu menjadi simbol kebaikan dan berkembang menjadi viral kebaikan ke seluruh dunia.

Yayasan Amal Khair Yasmin, misalnya, sekarang ini memberikan pendidikan gratis kepada orang miskin. Mungkin jumlah siswa sekolah gratis ini kecil saja dibandingkan jutaan anak-anak yang butuh sekolah gratis di Indonesia. Tapi meski kecil, dampak “viral sosial”nya sangat besar. Apa yang dilakukan Yasmin memberikan inspirasi terhadap individu maupun masyarakat untuk melakukan hal yang sama. Itu artinya Yasmin telah menginspirasi pentingnya dunia memberikan pendidikan gratis.

Itulah makna amal jariyah yang pahalanya berlipat-lipat. Jika ini terjadi, niscaya semua manusia akan mendapat “hak memperoleh pendidikan”. Dengan demikian, pendidikan akan merata dan perdamaian pun akan terwujud karena hilangnya kesenjangan sosial-eknomi di masyarakat.

Begitu pula dalam hal perdamaian. Basis utamanya adalah individu. Lalu keluarga, kemudian orang terdekat seperti teman dan tetangga. Seterusnya perdamaian itu akan terus berkembang, memviral ke mana-mana. Satu hal yang harus diingat: perdamaian di tiap hati individu ini niscaya lahir dari pendidikan dan lingkungan keluarga yang damai pula.

Kenapa ada teror? Hampir pasti, ada kesalahan dalam dunia pendidikan di mana si teroris berada. Kesalahan ini pada akhirnya membentuk manusia yang punya kepribadian pecah. Pinjam istilah Sarlito Wirawan, orang yang pecah kepribadiannya adalah para pengidap sociophrenia. Penyakit sociophrenia ini sulit dideteksi secara medis, tapi ketahuan secara sosial. Misalnya, dia beragama tapi suka teror. Dia wakil rakyat tapi suka korupsi. Orang-orang seperti ini, alih-alih menebarkan perdamaian, mereka menjadi penebar teror. Jika teror itu meluas, berarti masyarakat terjangkit sociophrenia. Tapi untung masyarakat Indonesia masih waras. Teror itu justru padam dan masyarakat ikut memadamkannya.

Fakta bahwa semua orang mengutuk aksi terorisme di Thamrin itu, berarti masyarakat kita masih sehat. Alhamdulilah!