Amal Khair Yasmin

Puasa dan Pendidikan

Setiap tahun umat Islam menyambut Bulan Ramadhan dengan suka cita. Mushola dan masjid di mana-mana penuh. Suara tadarus Alqur’an meramaikan susana bulan puasa tersebut. Umat menyambut bulan Ramadhan karena keistimewaannya. Allah tidak hanya memberikan pahala melimpah bagi orang-orang yang berpuasa dan tadarus Alqur’an, tapi jug mendidik rohani umat Islam agar makin kuat daya tahannya menghadapi segala cobaan. Kepekaan sosial pun diasah selama Ramadhan agar perasaan kasih sayang tumbuh subur di hati umat.

Allah menjadfikan Ramadhan sebagai “madrasah” bagi kaum beriman untuk mendidik diri sendiri, keluarga, dan masyarakat. Ramadhan juga adalah bulan recharge – mengisi ulang dan memperkuat keimanan dan takwa umat Islam. Ini karena keimanan dan takwa seseorang merupakan barometer kualitas umat di hadapan Allah. Sebagai bulan “candradimuka” atau bulan “penggodogan dan pendidikan” bulan puasa melatih fisik dan jiwa umat untuk menjadi manusia yang utuh. Manusia yang secara eksistensial menyadari kehadirannya di muka bumi sebagai khalifah. Khalifah yang harus merealisasikan tujuan penciptaan di muka bumi.

Banyak sekali aspek pendidikan yang terkandung dalam Puasa Ramadhan, baik pendidikan dalam kapasitas untuk pribadi maupun pendidikan untuk masyarakat. Di bawah disajikan enam aspek puasa Ramadhan yang terkait langsung dengan strategi pendidikan.
Pertama, puasa mengembangkan kecerdasan emosi. Karena hakikat puasa puasa adalah menahan diri dan menahan hawa nafsu (bukan membunuh hawa nafsu), maka puasa berfungsi untuk mendidik manusia agar dapat melakukan pengendalian diri (self controll) dan pengaturan diri (self regulation). Pendidikan pengendalian diri ini sangat dibutuhkan manusia untuk mengembangkan dirinya dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, dan bernegara.

Kedua, puasa mendidik kejujuran. Orang yang sedang berpuasa atas dasar imanan wahtishaban, ia tidak akan makan dan minum serta melakukan hal-hal yang membatalkan puasa betapapun tidak ada orang yang melihat dan tidak ada orang yang tahu. Namun dalam hati orang yang berpuasa terpatri kesadaran bahwa ia dan Tuhannya selalu mengawasi segala gerak-geriknya sehingga ia harus selalu jujur dan bertanggungjawab terhadap apa pun yang diamanahkan kepadanya. Puasa adalah sarana pendidikan untuk menyadarkan manusia bahwa Allah selalu tahu apa pun yang dilakukannya.

Ketiga: puasa mendorong dan mendidik manusia agar selalu belajar dalam rangka memperoleh dan meningkatkan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pada bulan Ramadhan ini terdapat peristiwa turunnya al-Quran (Nuzulul Qur’an) kepada Nabi Muhammad. Kita tahu, ayat pertama dari Alqur’an adalah menyuruh manusia untuk membaca. Bacalah atas nama Tuhan yang menciptakan! Itulah perintah Allah yang turun pertama kali kepada manusia. Dengan menyuruh manusia untuk membaca atau mempelajari semua ciptaan Tuhan, berarti Allah mendidik manusia untuk mempelajari ilmu dan teknologi seluas-luasnya agar menjadi khalifah yang sejati. Yaitu khalifah yang membawa kemakmuran, perdamaian, dan persatuan umat manusia.

Keempat, puasa mendidik kesetaraan. Dalam ibadah puasa, Islam memandang manusia memiliki kesamaan derajat. Mereka yang memiliki banyak harta, status sosial yang yang tinggi, memiliki dolar, atau yang mempunyai sedikit rupiah, atau bahkan orang yang tak memiliki sepeser uang pun, ketika sedang berpuasa tetap merasakan hal yang sama. Yaitu lapar dan haus. Perasaan lapar dan haus ini bersifat natural, dirasakan semua manusia yang berpuasa sehingga menimbulkan kesadaran bahwa manusia itu sama. Setara dan lemah. Hanya dengan pertolongan Allah, manusia mendapat kekuatan. Sungguh tiada daya dan kekuatan bagi manusia kecuali dari Allah.

Kelima, puasa mendidik sikap disiplin. Puasa adalah ibadah paling rahasia di mata manusia. Orang bisa saja mengaku puasa padahal ia tidak puasa. Tak ada orang yang tahu, siapa yang berpuasa dan tidak. Yang tahu hanya dirinya sendiri. Sikap ini akan menumbuhkan kedisiplinan pada manusia. Bagi orang yang melaksanakan ibadah puasa dengan benar, maka dalam dirinya melekat kedisiplinan yang berasal dari dalam. Kedisiplinan dari “dalam” inilah hakikat kedisiplinan sejati. Kedisiplinan yang tak akan lekang oleh pengaruh-pengaruh yang berasal dari “luar” diri seperti godaan uang, syahwat, dan makanan.

Keenam, puasa mendidik dan melatih kesabaran manusia. Betapa pun “pemuasa” merasa haus yang mencekik tenggorokkan atau lapar yang melilit perut, ketika waktu magrib belum tiba, ia tidak akan mau bersentuhan dengan makan dan minuman. Pemuasa harus bersabar menunggu hingga waktu berbuka tiba. Pendidikan kesabaran ini penting sekali karena realitas menunjukkan bahwa kejatuhan manusia seringkali terjadi karena ketidaksabaran dalam menunggu momentum yang tepat untuk bertindak!