Amal Khair Yasmin

Sekolah Delapan Jam? Tetap Tak Menyelesaikan Masalah

Sekolah 8 jam sehari? Itulah kebijakan baru Mendikbud Muhadjir Effendy yang akan diberlakukan pada tahun ajaran baru Juli depan (2017/2018). Kebijakan “full day school” tersebut, alih-alih mendapat dukungan masyarakat, yang terjadi sebaliknya. Kebijakan itu justru mendapat penolakan luas di masyarakat.

Muhadjir menjelaskan bahwa sekolah  8 jam sehari (full day school) bukan hanya diisi oleh kegiatan di dalam kelas, melainkan juga meliputi kegiatan intrakurikuler dan ekstrakurikuler. Asal muasal kebijakan ini, lanjut Muhadjir,  berawal dari pencarian solusi agar guru-guru tidak kerepotan mencari tambahan jam mengajar untuk memenuhi syarat mendapatkan tunjangan profesi guru (sertifikasi). Muhadjir juga menjamin kegiatan sekolah delapan jam tak akan mengganggu kegiatan Madrasah Diniyah. Permendikbud Nomor 23 Tahun 2017 tentang Hari Sekolah adalah landasan hukum kebijakan di atas. 

Sayangnya, kebijakan ini menuai kontroversi. Pengurus  Besar NU, misalnya, menolak kebijakan itu karena akan mengganggu sekolah diniyah atau madrasah yang telah berjalan baik selama ini. Jaminan Muhadjir  bahwa kebijakan sekolah 8 jam tidak akan mengganggu proses belajar mengajar di madrasah diniyah dianggap tidak realistis. 

Jelas sekali, full day school  bagaimana pun caranya, akan mengganggu proses belajar mengajar di madrasah diniyah yang biasanya berlangsung sejak anak-anak pulang sekolah umum.    Sejumlah organisasi keagamaan dan lembaga swadaya masyarakat yang mempunyai lembaga pendidikan juga menolak rencana Mendikbud tersebut. Alasannya, banyak anak-anak dari keluarga miskin yang setelah pulang sekolah harus bekerja untuk menambah penghasilan keluarganya. Jika sekolah 8 jam, waktu untuk bekerja sambilan itu, tidak ada lagi.

Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, yang nota bene tokoh NU, meminta Muhadjir menjelaskan kebijakannya itu. Soalnya PBNU sudah  tegas menolak penerapan kebijakan Muhadjir di atas. Bahkan Presiden Jokowi meminta agar rencana kebijakan itu dikaji ulang. Komisi X DPR juga menyatakan hal yang sama.
Dalam penjelasannya, Muhadjir menyatakan sekolah 8 jam sehari itu bukan hanya diisi oleh kegiatan di dalam kelas, tapi juga meliputi kegiatan intrakurikuler dan ekstrakurikuler. Asal muasal kebijakan ini berawal dari pencarian solusi agar guru-guru tidak kerepotan mencari tambahan jam mengajar untuk memenuhi syarat mendapatkan tunjangan profesi guru

Dari penjelasan tersebut, alasan kebijakan Mendikbud jelas sumir. Tidak menyentuh esensi pendidikan itu sendiri. Padahal, ada persoalan besar dalam sistem pendidikan di Indonesia. Yaitu kualitas rendah dalam kreativitas, keilmuan, dan kejujuran dari outputnya.  Kebijakan Mendibud di atas tidak bisa menjawab – kenapa output pdidikan di Indonesia kualitasnya rendah. Kenapa anak-anak didik di Indonesia tingkat literasinya hanya menduduki ranking ketiga terbawah dari 60 negara di dunia? Kenapa anak-anak Indonesia tidak kreatif dan miskin motivasi? Kenapa anak-anak Indonesa suka tawuran? Kenapa out put pendidikan di Indonesia kurang menghasilkan manusia yang punya integritas dan kredibilitas tinggi?
Hal-hal seperti itulah yang seharusnya dijawab Mendikbud. KPK, misalnya, pernah mendirikan “warung kejujuran” di sejumlah sekolah menengah. Ternyata gagal. Warung kejujuran yang tanpa “penunggu” itu akhirnya bangkrut karena ternyata banyak anak yang mengambil makanan tidak bayar. Itu semua menggambarkan rendahnya tingkat pendidikan kejujuran di Indonesia.

Kita tahu, salah satu  negara yang sistem pendidikannya sangat bagus dan diakui oleh PBB adalah Finlandia. Di negeri ini, konsep pendidikannya adalah membahagiakan murid. Sistem pendidikan di Finlandia merangsang murid agar belajar dengan menyenangkan dan setiap anak ditekankan untuk belajar sesuai minat dan potensinya. Karena itu di Finlandia, mata pelajaran  wajib yang dipaksakan dikurangi waktunya sesedikit mungkin, sementara pelajaran yang berbasis minat untuk mengembangkan potensi anak sesuai passionnya  ditingkatkan.

Di Finlandia, misalnya, asumsi dasar dari sistem pendidikan adalah, setiap anak punya jenis kecerdasan tertentu yang berbeda dengan lainnya. Karena itu, varian mata pelajaran sangat tergantung pada kecerdasan anak tersebut. Anak yang punya kecerdasan spasial (kecerdasan ruang) akan dibedakan mata pelajarannya dengan anak yang punya kecerdasan linguistic (bahasa). Begitu juga anak yang punya kecerdasan kinestetik (gerak tubuh) akan dibedakan mata peljarannya dengan anak yang punya kecerdasan musik.
Di Finlandia, setiap anak dikembangkan kecerdasan bawaanny. Asumsinya, setiap anak pasti punya kelebihan; punya kecerdasan spesifik. Dengan melihat banyaknya jenis kecerdasan anak (multiple intelegence), maka mata pelajaran sekolah yang sifatnya wajib hanya sedikit sekali. Mata pelajaran wajib itu misalnya, hanya matematika, bahasa, dan sejarah. Selanjutnya murid-murid bebas memilih pelajaran sesuai minatnya. Misalnya musik, elektronik, permesinan, astronomi, melukis, menyanyi, dan lain-lain.  Di samping itu cara penyajian materi pun dibuat sedemikian rupa agar membuat nyaman anak-anak. Misal dengan  permainan dan hiburan  yang sesuai dengan mata pelajaran.

Bandingkan dengan sekolah-sekolah di Indonesia. Jangankan nyaman, tidak dimarahi guru saja sudah seneng. Belum lagi beban mata pelajaran yang harus diikuti murid banyak sekali. Tambah lagi PR yang menyita waktu. Akibatnya, anak-anak sekolah mengalami sindrom mental fatigue atau kelelahan mental. Ini terjadi karena anak harus mempelajari banyak hal yang tidak sesuai dengan minat dan bakatnya. Di samping itu,  cara guru menyajikan pelajaran juga sangat membosankan. Semua itu akan berdampak pada masa depan anak. Anak-anak akan berkembang menjadi manusia yang menyukai hal-hal yang instan, tidak menghargai proses. Dalam kondisi seperti inilah ketidakjujuran, disintegarsi mental-intelektual, dan gap antara lisan dan perbuatan menemukan tempat pada jiwa manusia Indonesia. 

Prof. Ng Aik Kwang dari University of Queensland, dalam bukunya “Why Asians Are Less Creative Than Westerners” (2001) mengemukakan beberapa hal tentang bangsa-bangsa Asia, termasuk Indonesia,  yang membuat kita terkejut tapi diam-diam mengakui kebenarannya.  Bagi kebanyakan orang Asia, tulis Kwang, dalam budaya merek ukuran sukses  hidup adalah banyaknya materi yang dimiliki (rumah, mobil, uang dan harta lain). Sementara passion (rasa cinta terhadap sesuatu) kurang dihargai. Akibatnya, bidang kreativitas kalah populer dibanding profesi dokter, lawyer, dan sejenisnya yang dianggap bisa lebih cepat memperoleh kekayaan. Bagi orang Asia, khususnya Indonesia, banyaknya kekayaan yang dimiliki lebih dihargai daripada cara memperoleh kekayaan tersebut. Hal inilah yang mendorong manusia Indonesia untuk melakukan korupsi agar bisa kaya dengan cepat.

Selanjutnya Kwang menyindir bahwa  orang Asia, terutama Indonesia,  menganggap pendidikan identik dengan hafalan berbasis “kunci jawaban” — bukan pada pengertian. Ujian Nasional, tes masuk  perguruan tiinggi, dan lain-lain semuanya berbasis hafalan. Bahkan sampai tingkat sarjana, mahasiswa diharuskan hafal rumus-rumus ilmu pasti dan ilmu hitung lainnya; bukan diarahkan untuk memahami kapan dan bagaimana menggunakan rumus-rumus tersebut.  Karena berbasis hafalan, murid-murid dijejali sebanyak mungkin pelajaran. Mereka dididik menjadi “Jack of all trades, but master of none” (tahu sedikit- sedikit tentang banyak hal tapi tidak menguasai apapun). Kwang sepertinya telah “menelanjangi” kebobrokan sistem pendidikan di Indonesia.

Muhadjir mestinya merombak sistem pendidikan yang “out of date” di Indonesia seperti gambaran di atas  – bukan malah menambah jam pelajaran menjadi “full day school” yang tanpa arah. Hanya sekedar memberikan “waktu lebih” kepada guru agar bisa mengajar sesuai waktu ang dibutuhkan untuk dapat menerima uang sertifikasi yang nilainya sebesar gaji pokok! Masya Allah! 
*SS