Amal Khair Yasmin

Sekolah Full Day: Baik Jika Persiapannya Matang

Mendikbud Muhadjir Effendy mempunyai gagasan baru untuk membenahi pendidikan nasional. Yaitu menyelenggarakan sekolah sehari penuh full untuk SD dan SMP. Menurut Pak Muhadjir, pendidikan full day ini bisa meredam kenakalan anak-anak.

Menurut Mendikbud, kalau anak-anak tetap berada di sekolah, mereka bisa menyelesaikan tugas-tugas sekolah sampai dijemput orangtuanya seusai jam kerja.

Selain itu, anak-anak bisa pulang bersama-sama orangtua mereka sehingga ketika berada di rumah mereka tetap dalam pengawasan, khususnya oleh orangtua. Untuk aktivitas lain misalnya mengaji bagi yang beragama Islam, menurut Mendikbud, pihak sekolah bisa memanggil guru mengaji atau ustaz dengan latar belakang dan rekam jejak yang sudah diketahui. Jika mengaji di luar, mereka dikhawatirkan akan diajari hal-hal yang menyimpang.

Pak Muhadjir menilai pendidikan dasar selama ini keteteran menghadapi kemajuan zaman. Akibatnya, sistem pendidikan belum menghasilkan lulusan tangguh dan berdaya saing tinggi. “Anak muda sekarang masih banyak bermental lembek dan tidak tahan banting,” ungkap Mendikbud.

Sebab, pada tahap itulah karakter anak bisa dibentuk. Dus, menurut dia, Full day school bisa membentuk kepribadian dan menambah wawasan anak–yang seharian berada di sekolah. Misalnya untuk belajar agama.

“Di sekolah, anak lebih terpantau. Ketimbang ikut pengajian di luar, malah dapat ustad dari kelompok ekstrim,” ujarnya. Rencananya Kemendikbud akan membuat jam pulang sekolah sama dengan jam pulang kerja. Sehingga anak didik tak dilepas begitu saja setelah jam sekolah. “Anak pulang jam lima sore, sehingga orang tuanya bisa jemput,” katanya.

Kalau program tersebut jadi diterapkan, maka sekolah akan meliburkan siswa selama dua hari dalam sepekan, yakni Sabtu dan Minggu. Dua hari itu memberikan kesempatan peserta didik berkumpul lebih lama dengan keluarga.

Meski demikian, pihaknya tetap akan menguji sejauh mana ketahanan peserta didik untuk menjalani full day school. Yang pasti, “Bapak Presiden juga sangat mengapresiasi. Tinggal saya nanti susun programnya,” katanya.

Saat ini penerapan sistem tersebut masih disosialisasikan di sekolah-sekolah, mulai di pusat hingga di daerah. Ke depan, kata Muhadjir, akan dibuatkan payung hukumnya, yakni berupa Peraturan Menteri (Permen).

Gagasan Mendikbud ini disepakati Wakil Presiden Jusuf Kalla. Namun, Kalla menyarankan, pihak Kemendikbud membuat lebih dulu proyek percontohannya sebagai uji coba.

Senada dengan Kalla, pengamat pendidikan Dr. Arief Rachman menyatakan persetujuannya, namun dengan catatan. “Manajemen harus baik dengan indikator keberhasilan jelas,” katanya. “Persiapannya juga harus matang,” tambah direktur Lab School Universitas Jakarta ini.

Indikator keberhasilan yang dimaksud adalah anak menjadi semakin dekat dengan Tuhan. Kemudian kepribadian anak jadi lebih matang dengan daya juang tinggi, plus bertambahnya rasa nasionalisme. Dampak positif dari sistem itu yang lebih jauh menurut Arief yaitu jumlah guru yang mengajar rangkap akan berkurang. Hal ini dianggap penting karena guru yang mengajar di lebih dari satu sekolah tidak akan maksimal.

Sementara Ketua Dewan Pembina Komisi Nasional Perlindungan Anak Seto Mulyadi meminta rencana penerapan full day school ditinjau kembali. “Saya mohon dikonsultasikan dan dibicarakan lagi,” kata Kak Seto, panggilan akrab Dr. Seto Mulyadi. Menurut Kak Seto ada sejumlah hal yang harus disiapkan. Misalnya kemampuan guru menciptakan suasana belajar yang interaktif, sehingga anak-anak peserta didik tak jenuh. Kalau jumlah guru yang interaktif masih kurang, maka sistem itu tak efektif. “Saat ini kan kalau guru bilang ada rapat, siswanya malah senang,” ujarnya.

Dalam pandangan salah satu orang tua murid bernama Suparno, sistem full day school bisa bermanfaat untuk perkembangan anak. Tapi penolakan datang dari Arofah Supandi, yang anaknya baru masuk SD. “Ya enggak setuju banget, kasihanlah kan dia (anak) kan perlu main juga,” katanya.

Anggota Komisi X DPR Dadang Rusdiana juga mempertanyakan gagasan Muhadjir Effendy. Ia menilai banyak sekolah di Indonesia yang belum memiliki fasilitas untuk mendukung kebijakan tersebut. “Sudah siapkah pemerintah, sementara ruang belajar saja masih banyak yang rusak?,” kata politisi Hanura.

Oleh karena itu, Dadang meminta Muhadjir mengkaji dulu kebijakan memperpanjang waktu belajar di sekolah itu. Kajian yang dilakukan termasuk meneliti kesiapan sekolah-sekolah di seluruh Indonesia. “Kalau perlu Komisi X membentuk panja dulu untuk menguji kesahihan konsep full day school tersebut,” kata Dadang.

Gubernur Jateng Ganjar Pranowo juga menyarankan, gagasan Muhadjir dikaji dengan komprehensif. Ia menganggap kebijakan yang dipaksakan hanya menimbulkan sejumlah persoalan, terutama di pedesaan. “Kalau di kota sangat bisa (diterapkan). Nah, saya menyampaikan sekolah selama lima hari hool diterapkan dsaja bisa geger di desa,” kata Ganjar.

Full day school secara gagasan memang menarik. Tapi, Indonesia ini luas sekali dan persoalan masyarakatnya masih kompleks. Sungguh tidak terbayangkan bagaimana full day school diterapkan di pelosok Papua. “Anak Papua ada yang berjalan lima jam untuk mencapai sekolah dari rumahnya. Bagaimana mungkin mengikuti full day,” kata Ustad Mujtahidin, manajer keuangan di Yayasan Amal Khair yang menyelenggarakan pendidikan gratis berkualitas di Indonesia.