Amal Khair Yasmin

Sekolah Gratis, Guru Berkualitas. Kenapa Tidak?

Jika media massa banyak menyoroti kualitas sekolah negeri di tempat-tempat terpencil yang kualitasnya amat menyedihkan, pernahkah terlintas di pikiran kita, bagaimana dengan kualitas sekolah swasta di tempat terpencil? Logikanya jika sekolah negeri terpencil yang gurunya PNS saja kualitasnya buruk, apalagi sekolah swasta yang gurunya digaji yayasan — jelas, kualitasnya tak terbayangkan. Mana lagi di zaman sekarang, ada orang mau susah-susah mendirikan sekolah swasta di kampung terpencil. Cari muridnya susah, cari gurunya susah, dan – maaf – cari uangnya juga susah. Jika pun orang nekad mendirikan skolah swasta terpencil, bersiap-siaplah mengeluarkan dana pribadi untuk kebutuhan sekolah. Secara finansial tak akan untung, malah buntung.

Sekarang, bayangkan bila sekolah swasta itu gratis dan murid-murinya adalah anak-anak dari kalangan miskin, tak terbayangkan bukan kualitasnya? Itu logika materilnya. Tapi logika spiritualnya beda. Jika tujuan mendirikan sekolah swasta gratis untuk orang-orang miskin itu tujuannya untuk membantu meningkatkan kualitas manusia, membantu negara, dan mencari pahala akhirat serta keridhaan Allah, persoalannya jadi lain. Orang mau bersusah payah untuk mendirikan sekolah gratis dengan kualitas yang baik demi membantu masyarakat miskin terlepas dari jeratan rantai kemiskinan. Pendidikan gratis berkualitas untuk menghasilkan manusia berkualitas adalah cara paling efektif untuk memutus rantai kemiskinan tersebut.

Lihatlah SMP Utama — sekolah menengah pertama gratis di kampung Krukut, Kecamatan Limo, Kota Depok ini. Meski letaknya terpencil di tengah komunitas warga miskin, tapi kualitasnya moncer. Bulan November 2015 ini, beberapa siswa SMP Utama mendapat juara satu Lomba Karya Tulis Ilmiah (LKTI) se-Indonesia. Padahal peserta lombanya kebanyakan dari sekolah-sekolah unggulan di berbagai kota di Indonesia. Sebelum ini, beberapa penghargaan terkait kualitas sekolah yang baik, pernah diterima SMP Utama.

SMP Utama di Krukut, Limo, Depok ini didirikan dengan semangat idealisme pengabdian untuk bangsa oleh Yayasan Amal Khair Yasmin, Tangerang Selatan. Sekolah ini berdiri karena panggilan hati pengurus Yasmin untuk membantu pendidikan berkualitas gratis di komunitas masyarakat miskin.

Di kota-kota besar sekolah berkualitas biasanya menuntut dua prasarat. Pertama, bayarannya mahal. Kualitas sumberdaya manusianya (murid-murid) nya bagus. Untuk itu ada seleksi masuk yang ketat seperti nilai rapor dan ujian nasional harus baik. Dengan biaya sekolah mahal, maka fasilitas sekolah juga lengkap. Dengan nilai rapor dan ujian nasional yang bagus, berarti kualitas anak juga bagus. Jadi kalau sekolah-sekolah tersebut berkualitas, maka sudah sewajarnya.

Lalu, bagaimana sekolah gratis di tengah warga miskin? Dengan biaya gratis, apakah sekolah mampu memenuhi fasilitas pendidikan? Dengan SDM apa adanya, apakah sekolah mampu mendidik siswanya dengan baik. Di sinilah persoalannya.

Dengan biaya gratis, fasilitas fisik sekolah bisa dikonversi dengan fasilitas yang bersifat kreatif. Misalnya alam di desa bisa menjadi sarana belajar yang kreatif dan inspiratif. Sedangkan kualitas SDM mengandalkan asumsi, setiap anak adalah cerdas. Jadi, siapa yang mau daftar sekolah, pasti diterima karena semua pendaftar adalah anak baik dan pandai. Karena asumsinya demikian, maka tugas gurulah untuk membuktikan bahwa semua anak yang masuk sekolah gratis adalah anak pandai dan berkualitas. Dengan cara pandang demikian, maka kurikulum dan metode pengajaran konvensional tidak bisa diterapkan di sekolah gratis tersebut. Karena itu, guru-guru di sekolah gratis – seperti di SMP Utama – mendapat pelatihan mendidik dan mengajar yang modern dengan asumsi dasar bahwa setiap anak adalah cerdas. Metode pengajarannya berbeda dengan metode pengajaran di sekolah-sekolah negeri. Namanya, metode multiple intelegence atau kecerdasan majemuk. Metode temuan Dr. Howard Gardner dari Universitas Harvard ini mengasumsikan bahwa setiap anak punya potensi kecerdasan. Tak ada anak yang bodoh. Karena itu, cara mendidik dan mengajarnya, harus sesuai dengan potensi kecerdasannya. Di Finlandia, negeri yang terkenal sistem pendidikannya paling bagus di dunia, menggunakan metode multiple intellegence dalam konsep pengajarannya. Metode pengajaran seperti itulah yang diterapkan sekolah-sekolah gratis yang didirkan Yasmin, termasuk SMP Utama tadi.

Penerapan metode multiple intellegence memang membutuhkan guru yang berkualitas: cerdas, kreatif, dan peduli siswa. Guru-guru semacam ini memang langka kecuali punya motivasi pengabdian yang tinggi demi membangunan bangsa dan negara. Alhamdulillah, Yasmin bisa mendapatkan guru-guru semacam itu. Tentu saja Yasmin sangat menghargai guru-guru berdedikasi tinggi tersebut. Penghargaan itu tak hanya dalam bentuk apresiasi sosial, tapi juga ekonomi. “Sekolah gratis berkualitas tidak berarti membayar guru berkualitas dengan gratis,” ungkap Mujtahidin, manajer fund raising Yasmin. “Yasmin juga menghargai para guru sekolah gratis dengan imbalan gaji yang sepadan,” ungkapnya. Menurut Mujtahidin, saat ini Yasmin mengelola beberapa sekolah gratis, dari mulai PAUD, TK, SMP, hingga SMA/K.

Di Hari Guru ini, mungkin kita bertanya: masih butuhkan pendidikan gratis berkulitas? Jawabnya: masih sangat dibutuhkan. Meski UUD 45 Pasal 31 pendidikan gratis adalah tanggungjawab negara, tapi faktanya di lapangan, masih banyak anak-anak usia sekolah masih belum mampu menikmati pendidikan. Banyak warga miskin di tempat-tempat terpencil yang putus sekolah, tidak sekolah, bahkan tak megenal sekolah sama sekali. Itu semua tanggungjawab kita. Jika pemerintah tidak mampu memberikan pendidikan gratis berkualitas kepada mereka, maka masyarakatlah yang harus mengambil tanggungjawab. Kalangan masyarakat berada hendaknya sadar bahwa di dalam kekayaan yang mereka peroleh, ada hak untuk mereka yang miskin dan duafa. Lebih jauh lagi infak, zakat, dan derma tak cukup hanya berbentuk sandang, pangan dan papan, tapi juga perlu pengetahuan dan ketrampilan. (ss)