Amal Khair Yasmin

Asap dan Pendidikan Lingkungan

Kebakaran hutan di Sumatera dan Kalimantan dalam dua bulan terakhir benar-benar meresahkan. Korban tewas akibat asap dari kebakaran hutan itu sudah mencapai ratusan orang. Sedang korban yang terkena infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) mencapai puluhan ribuan orang. Luar biasa!

Kenapa kebakaran hutan ini terjadi? Jawabnya, karena kurangnya pendidikan lingkungan. Mungkin secara formal, pendidikan lingkungan tersebut sudah ada sejak SD. Tapi kesadaran tentang lingkungan yang merupakan buah dari pendidikan itu, sangat kurang. Walhasil, pendidikan lingkungan gagal total. Implementasinya di masyarakat nyaris nihil.

Lihat, misalnya, sampah plastik masih berserakan di mana-mana. Orang-orang, baik di kota maupun kampung, masih seenaknya membuang sampah. Kebakaran hutan di Sumatera dan Kalimantan juga sebagian penyebabnya karena ada orang yang sengaja membakar sampah di hutan; ada juga yang membuang puntung rokok yang masih menyala ke hutan. Bahkan ada yang sengaja membakar hutan untuk tujuan-tujuan jangka pendek. Sebetulnya, mereka tahu apa akibat perbuatannya – tapi mereka tak peduli. Kesadaran untuk peduli lingkungan nihil akibat sikap egoisme dan individualismenya yang keras. Orang bilang, mereka tak punya perasaan.

Kita tahu, manusia terdiri atas pikiran dan rasa, di mana keduanya harus berjalan bersama. Rasa menjadi amat penting karena seringkali terlupakan. Padahal justru perasaanlah yang menggerakkan manusia untuk peduli lingkungan. Lalu, bagaimana memulai pendidikan lingkungan? Pendidikan lingkungan harus beranjak dari hati atau perasaan. Tanpa sikap mental yang tepat, semua pengetahuan dan keterampilan dalam mengelola lingkungan akan sia-sia. Karena itu, untuk membangkitkan kesadaran manusia terhadap lingkungan hidup di sekitarnya, proses yang paling penting dan harus dilakukan adalah dengan menyentuh hati. Jika proses penyadaran, perubahan sikap, dan pola pikir terhadap lingkungan telah terjadi, di mana hati dan rasa telah menyatu dalam kesadaran, maka pengetahuan tentang lingkungan akan berguna. Pada tahap inilah peningkatan pengetahuan dan pemahaman mengenai lingkungan hidup serta peningkatan keterampilan dalam mengelola lingkungan hidup amat penting karena niscaya ada implikasinya dalam kehidupan. Kesadarannya akan membimbing manusia untuk dapat menyelaraskan antara pengetahuan dan perbuatan. Dengan demikian, pengetahuan tidak sekedar masuk dalam otak. Tapi juga dalam perbuatan.

Pemerintah Indonesia sebetulnya sudah lama peduli terhadap pendidikan lingkungan hidup. Tercatat pada tahun 1986, pendidikan lingkungan hidup dan kependudukan dimasukkan ke dalam pendidikan formal dengan dibentuknya mata pelajaran Pendidikan kependudukan dan lingkungan hidup (PKLH). Depdikbud merasa perlu untuk mulai mengintegrasikan PKLH ke dalam semua mata pelajaran. Pada jenjang pendidikan dasar dan menegah (menengah umum dan kejuruan), penyampaian mata ajar tentang masalah kependudukan dan lingkungan hidup secara integratif dituangkan dalam sistem kurikulum tahun 1984 dengan memasukkan masalah-masalah kependudukan dan lingkungan hidup ke dalam hampir semua mata pelajaran. Sejak tahun 1989/1990 hingga saat ini berbagai pelatihan tentang lingkungan hidup telah diperkenalkan oleh Departemen Pendidikan Nasional bagi guru-guru SD, SMP dan SMA termasuk Sekolah Kejuruan. Di tahun 1996 terbentuk Jaringan Pendidikan Lingkungan (JPL) antara LSM-LSM yang berminat dan menaruh perhatian terhadap pendidikan lingkungan. Hingga tahun 2004 tercatat 192 anggota JPL yang bergerak dalam pengembangan dan pelaksanaan pendidikan lingkungan. Selain itu, terbit Memorandum Bersama antara Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dengan Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 0142/U/1996 dan No Kep: 89/MENLH/5/1996 tentang Pembinaan dan Pengembangan Pendidikan Lingkungan Hidup. Sejalan dengan itu, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) Depdikbud juga terus mendorong pengembangan dan pemantapan pelaksanaan pendidikan lingkungan hidup di sekolah-sekolah antara lain melalui penataran guru, penggalakkan bulan bakti lingkungan, penyiapan Buku Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup (PKLH) untuk Guru SD, SLTP, SMU dan SMK, program sekolah asri, dan lain-lain. Sementara itu, LSM maupun perguruan tinggi mengembangkan pendidikan lingkungan hidup melalui kegiatan seminar, sararasehan, lokakarya, penataran guru, dan lain-lain. Komplit.

Tapi hasilnya? Asap dari kebakaran hutan di tahun 2015 benar-benar menyusahkan rakyat. Semua itu menunjukkan, pendidikan lingkungan hidup gagal dalam praktek. Kenapa terjadi? Karena pendidikan lingkungan hanya sebatas pengetahuan – tidak menyentuh hati dan perasaan. (ss)