Amal Khair Yasmin

Ibu, Pendidik di Abad 21

Ibu adalah cinta. Ibu adalah sekolah. Ibu adalah Pendidikan. Tiga rangkaian kata itu, dalam kehidupan sehari-hari, menyatu pada sosok ibu. Demikian besarnya pernanan sosok ibu dalam membangun karakter anak, sehingga Nabi Muhammad meminta umatnya menghargai ibu tiga kali lipat dibanding menghargai ayahnya. Rasulullah menegaskan seorang anak berkewajiban berbuat baik kepada ibunya sebelum kepada bapaknya. Tidak hanya itu, dalam hadits lain ditegaskan bahwa surga ada di bawah telapak kaki ibu.

Anak tak akan bisa lepas dari ibunya. Ia yang melahirkan, menyusukan, dan membesarkan. Ibu juga mendidik anak sejak belajar bicara hingga menjadi manusia dewasa. Tak seperti ayah, kedekatan ibu dengan anaknya bertalian dengan “penyatuan darah” sejak terbentuk janin hingga menjadi bayi. Itulah sebabnya, peran Ibu terhadap anaknya sangat besar dan pengaruh ibu terhadap pendidikan anaknya juga sangat besar dan sepanjang masa. Sepanjang nafas dikandung badan, maka sepanjang itulah kasih ibu kepada anaknya. Ini artinya, kasih dan cinta ibu tak akan pernah terlepas dari anaknya.

Penelitian panjang di salah satu universitas terkemuka, Harvard, menyebutkan anak-anak yang hidup dalam belaian kehangatan terbukti lebih bahagia dan lebih sukses. Mereka juga relatif lebih sehat dibandingkan dengan anak-anak yang kurang mendapatkan kasih sayang. Sebagai orang tua, memang sudah seharusnya menyiapkan berbagai hal untuk anak. Mulai dari dana pendidikan hingga hal-hal sepele sekalipun. Namun demikian, acapkali orang tua terperangkap dalam rutinitas kerja. Lalu melepaskan kehangatan keluarga dari kehidupan sehari-hari.

Kisah buram dunia pendidikan kita mungkin disebabkan oleh faktor langkanya cinta ini. Kita kekurangan cinta dan kehangatan. Khususnya di dalam keluarga. Sehingga anak-anak kita merasakan hidupnya kering dan tak bermakna. Akibatnya emosinya labil dan selalu dihantui kecemasan psikis. Kondisi ini tragisnya terjadi di abad-21, di mana anak-anak kelihatan mampu berdiri sendiri untuk bersosialisasi dengan teman-temannya di dunia digital atau dunia maya. Keadaan emosi anak-anak yang labil tersebut biasanya terekam jauh di lubuk hati sehingga mempengaruhi alam bawah sadar yang akan terus dibawanya hingga dewasa. Bahkan hingga masa tua.

Dewasa ini, di zaman digital dan media sosial, hubungan antara anak-anak dan orang tua makin renggang. Anak-anak lebih suka menyendiri untuk bertwitt atau berfacebook dengan teman-temannya dari jagad antah berantah. Ibu tampaknya senang-senang saja karena anaknya tidak rewel dan tidak mengganggu pekerjaannya. Malahan ibu selalu menuruti kemauan anaknya untuk bertwitt dan berfacebook ini.

Tapi apa dampaknya? Anak-anak kehilangan figur. Kosong teladan. Dunia maya yang mengasikkan anak-anak ternyata berbeda dengan dunia nyata. Ketika anak-anak sadar bahwa dunia nyata yang harus dilalui, mereka pun bingung dan terasing, bahkan merasa tersingkir. Inilah yang kemudian menimbulkan problem psikologis. Problem psikologis anak-anak yang hidup di dunia yang terlipat ini memang mencemaskan. Karena dunia virtual yang dingin dan kejam itu, hanya melihat anak-anak sebagai penjelmaan data-data elektrik-matematik yang tampil di monitor semata.

Menurut penelitian UNDP, di era digital ini makin banyak orang yang bunuh diri karena alasan keterasingan – bukan alasan kekurangan makanan. Bahkan di negara-negara maju, bunuh diri menjadi trend yang menggelisahkan. Apalagi mereka melihat pesohor yang melakukan bunuh diri seperti Whitney Houston dan Robin William, mereka pun makin penasaran. Padahal apa yang membuat mereka penasaran, mereka pun tidak tahu. Dunia maya yang menjadi “ruang publik”nya ternyata hadir tanpa kehangatan dan cinta untuk menjawabnya. Itulah yang menyebabkan anak-anak abad-21 hidupnya makin kering dan egois.

Mengatasi persoalan tersebut, kaum ibulah yang mampu melakukannya. Ini karena cinta dan kehangatan yang dibutuhkan anak-anak dalam mengarungi kehidupannya ada pada sosok ibu. Jika hari ini jiwa mereka merasa kemarau dari kehangatan ibunya, sulit baginya untuk menggapai kebahagiaan di masa depan. Sebaliknya, bila hari ini kita memenuhi telaga jiwanya dengan cinta dan kehangatan, maka hari esok mereka akan lebih mudah meraih kebahagiaan. Bahkan mereka akan mengalirkan kebahagiaan itu kembali kepada kita semua. Terutama kepada ibunya.

Saat ini, ketika media sosial dengan segala aplikasinya memudahkan manusia di seluruh untuk saling berinteraksi, percayalah interaksi itu hanyalah permainan teknologi. Yahoo, google, altavista, dan lain-lain memang membantu manusia untuk mencari berbagai jawaban persoalan hidup dengan mesin canggih searchingnya. Tapi untuk mencari cinta dan kehangatan, yakinlah, hanya sosok ibu yang mampu melakukannya. ss