Amal Khair Yasmin

70 Tahun Merdeka, Pendidikan Gratis Mana?

Suasana peringatan 70 tahun kemerdekaan Indonesia masih terlihat di mana-mana. Umbul-umbul warna warni masih berkibar di mana-mana,bendera merah putih masih melambai-lambai di langit nusantara, dan suasana ceria masih tersirat di wajah setiap orang Indonesia. Usia 70 tahun kemerdekaan memang terasa istimewa. Di tanggal 17 Agustus istimewa itu, misalnya, orang bisanaik KRL Commuter Line gratis, gratis, ada sarapan gratis, dan macam-macam suguhan makanan gratis. Tapi adakah pendidikan gratis?

Beberapa hari sebelum 17 Agustus, saya menerima surat dari tempat anak saya sekolah. Pertama dari Madrasah Tsanawiyah Negeri dan kedua dari Sekolah Menengah Atas Negeri. Keduanya di Bekasi. Isinya suratnya, berdasarkan keputusan Walikota bla .. bla.. bla… berdasarkan Keputusan Komite Wali Murid bla..bla… setiap anak baru wajib membayar uang pangkal (uang gedung?) Rp 1,5 juta dan uang bulanan Rp 75.000. Untuk SMA uang pangkal Rp 2 juta dan uang bulanan Rp 100.000. Catat: untuk SMA yang dianggap berkualitas, seperti SMA I dan II, uang pangkal dan bulanannya lebih besar lagi. Bahkan kadang, masih ada uang buku, uang baju, dan lain-lain. Jumlah pungutan tersebut untuk orang kaya mungkin tak masalah.Tapi untuk orang miskin, jelas masalah besar.Urusan perut tak bisa di tunda.Urusan perut yang meronta-ronta karena kemiskinan lebih urgen ketimbang biaya pendidikan.

“Saya tak tahu untuk apa uan gitu. Bukankah pemerintah berkali-kali menyatakan bahwa semua sekolah negeri gratis ?,” kata IbuYuli yang kesal membaca surat edaran tersebut. LainPemkot, lain Pemda. Jika Pemkot Bekasi memungut iuran, di Pemda Bekasi tidak. Di sekolah-sekolah yang berada di lingkungan Pemda Bekasi, pungutanmacam itu tak ada. Kenapa di Kota Bekasi ada pungutan macam-macam? Entahlah. Lalu bagaimana di kota lain? Kabarnya di Pemkot Bandung, pungutan macam-macam itu langsung “dibereskan” Pak Wali Kota Ridwan Kamil. “Sebelum Pak Kamil blusukan, masih banyak sekolah-sekolah yang memungut iuran.Baru setelah Pak Kamil marah dan mengancam memecat Kepala Sekolahnya bila memungut iuran, macam-macampungutanituditiadakan,” kata Kang Ari, salah seorang wali murid yang aktif menyuarakan sekolah gratis.

Umur 70 tahun kemerdekaan sebuah negara, memang belum termasuk tua.Tapi usia 70 tahun bagi sebuah bangsa yang sejak lahir mencita-citakan kemajuan, kemandirian, dankesejahteraan – usia 70 tahun sudah termasuk matang untuk mewujudkan cita-cita itu. Lihat Korea Selatan, Singapura, dan Taiwan yang usia kemerdekaan hampir sama dengan Indonesia. Mereka telah lama menggratiskan sekolah bagi warganya, mendukung kemajuan pendidikan, dan memfasilitasi semua sarana dan prasarana yang dibutuhkan pendidikan – semuanya gratis. Hasilnya: mereka berhasil meraih cita-citanya. Mempunyai warga negara yang pintar, kreatif, maju, dan negaranya pun sejahtera, adil dan makmur.Semuanya berkat majunya pendidikan.

Indonesia? Undang-undang Dasarnya – Pasal 31 –menyatakan, pendidikan untuk rakyat adalah kewajiban negara. Implikasinya, menurut Mendikbud Anies Baswedan, pendidikan gratis merupakan kewajiban konstitusional Negara juga. Faktanya? Pemerintah mempunyai kendala finansial untuk memberikan pendidikan gratis kepada semua warga negara, kata Anies.Tapi bagaimana untuk pendidikan sekolah negeri seperti SMA dan Tsanawiyah di Bekasi? Bukankah sekolah-sekolah tersebut sudah punya anggaran cukup dari negara?

Sekolah negeri beda dengan sekolah yang dikelola YayasanAmal Khair Yasmin atau Dompet Dhuafa. Sekolah-sekolah yang dikelola Yasmin dan Dompet Dhuafa, misalnya,sepenuhnya gratis. Gratis total. Tak ada uang gedung, taka ada uang pangkal, taka ada uang baju, tak ada uang buku, tak ada uang bulanan, dan tak ada SPP. Semuanya gratis. Dan semuanya untuk orang miskin. Yasmin mencar idana sendiri seperti menjual barang-barang bekas, mencari donator, dan lain-lain untuk membiayai sekolahnya. Begitu juga Dompet Dhuafa. Negara ? Dengan pajak seharusnya sekolah gratis pun tercuku pidananya.Tapi para pembuat kebijakan tampaknya belum sungguh-sungguh peduli terhadap sekolah gratis ini.

Kepedulian Yasmin terhadap sekolah gratis untuk orang miskin memang niscaya. Ini karena Yasmin sering blusukan kekampung-kampung dan melihat dengan mata kepala sendiri betapa banyaknya anak-anaku sia sekolah yang kleleran di jalan-jalan karena putus sekolah. Ada pengemis, pengamen, tukang semir, tukang cuci, dan lain-lain. Ketidak mampuan ekonomi keluarganya yang membuat mereka tak mampu sekolah! Dengan adanya sekolah gratis, mereka pun terlihat gembira.Kenapa? Karena mereka punya harapan, punya impian.Dan impian itu dating berbarengan dengan sekolah gratis.

Mereka yang mengharapkan hadirnya sekolah gratis ini jumlahnya jutaan dan tersebar di mana-mana. Tak hanya di perbukitan GunungJaya Wijayadi Papua, tapi juga di hadapan kita di ibukota Jakarta. Di kampung-kampung sekitar Depok, Cinere, bahkan di sudut-sudut jalan di Senen yang jauhnya sepelemparan batu dari istana negara! Sayang memang, meriahnya 70 tahun merdeka, tak semeriah pendidikan gratis untuk orang-orang dhuafa! (SS)