Amal Khair Yasmin

Menuju Pendidikan Gratis Berkualitas

Menuju Pendidikan Gratis Berkualitas

Adakah pendidikan gratis berkualitas? Pertanyaan ini, jawabnya panjang! Ini karena pendidikan berkualitas itu artinya, semua sarat pendidikan berkualitas terpenuhi. Hasilnya – dengan kata lain out putnya – tentu saja berkualitas. Jadi, kualitasnya  bisa dibuktikan melalui lulusan-lulusannya. Lulusannya, misal, diterima di perguruan tinggi berkualitas untuk prodi berkualitas yang diburu banyak siswa.  Menurut Dr.Ir. Bambang Priyanto,SU. pendidikan berkualitas didasarkan pada empat ukuran atau indikator, yaitu mutu produk (lulusan), mutu proses pebelajaran, mutu layanan pendidikan, dan mutu lingkungan pendidikan.

Selama ini, ada anggapan pendidikan berkualitas biayanya sangat mahal. Faktanya memang seperti itu, sehingga sekolah-sekolah yang menjanjikan pendidikan berkualitas menuntut biaya pendidikan yang mahal. Namanya sekolah unggulan, sekolah plus, atau sekolah internasional. Intinya: sekolah mahal. Dan kemahalan itu merupakan kompensasi dari “kualitas tinggi” yang diusungnya. Dengan asumsi seperti itu, subsidi dana pemerintah untuk sekolah-sekolah negeri masih dianggap tak mampu untuk menyelenggarakan pendidikan berkualitas. Jadinya, pemerintah mengesahkan adanya tambahan biaya untuk sekolah-sekolah negeri yang siap menyelenggarakan pendidikan berkualitas. Salah satunya, adalah mempersiapkan ruang berpendingin AC. Memang betul, ruang ber-AC termasuk salah satu sarat untuk menunjang program pendidikan berkulitas. Mungkin pinjam kriteria Bambang Priyanto – itulah harga mutu lingkungan pendidikan. Tentu saja kriteria tersebut tidak bisa diterapkan di semua daerah. Karena ada daerah bersuhu dingin, panas, dan sedang. Namun satu hal, pendidikan berkualitas harus berada pada lingkungan yang baik.

Dengan asumsi-asumsi di atas, maka menyelenggarakan pendidikan berkualitas membutuhkan dana yang besar. Di sekolah-sekolah tertentu, baik negeri maupun swasta, yang telah dikenal masyarakat sebagai sekolah berkualitas, mereka tidak segan-segan memungut biaya tambahan kepada wali murid yang nominalnya cukup mahal. Dan wali murid bersedia membayarnya berapa pun demi anak. Bahkan tidak sedikit sekolah-sekolah negeri yang sudah dikenal punya brand berkualitas “menjual bangku” untuk anak-anak tertentu yang sebetulnya tidak layak persaratan untuk masuk di sekolah tersebut.  

Dengan adanya biaya penyelenggaraan yang mahal tadi, pendidikan berkualitas dipercaya masyarakat hanya bisa dilakukan oleh sekolah-sekolah tertentu yang sudah dikenal berkualitas juga. Anggapan masyarakat tersebut sepintas kelihatan benar meski sebetulnya salah kaprah. Salah kaprah karena asumsi pendidikan berkualitas  harus dikaitkan dengan sarana dan prasarana berkualitas serta input (murid) berkualitas pula. Tentu, semuanya mahal. Dan lembaga-lembaga nirlaba sulit menyelenggarakan pendidikan berkualitas karena tak punya dana.

Masalahnya, betulkah pendidikan berkualitas mesti mahal? Apakah pendidikan berkualitas mesti bersandar pada input SDM berkualitas pula? Lantas bagaimana dengan siswa-siswa yang dianggap tidak berkualitas? Apa ukurannya siswa berkualitas dan tidak?

Pendidikan berkualitas seharusnya tidak mahal jika saja proses belajarnya dilakukan dengan benar. Fasilitas pendidikan belajar hanya sarana. Yang lebih penting adalah bagaimana sistem pendidikan itu mampu menjadikan anak yang dianggap biasa-biasa saja, bahkan dianggap punya kekurangan – berubah menjadi anak yang cerdas  dan mampu berkembang secara optimal. Ada asumsi yang harus dirubah terhadap anak-anak. Munib Chatib, pakar pendidikan, menyatakan bahwa sebetulnya setiap anak itu pandai dan cerdas. Setiap anak, kata Munib, mempunyai  kecerdasan ganda (multiple intelligence, MI). Seorang pendidik yang baik adalah guru yang mampu memanfaatkan kecerdasan bawaan yang ada pada anak itu untuk belajar secara optimal dan menyenangkan. Kecerdasan ganda bawaan yang ada pada anak itu ada beberapa macam, di antaranya kecerdasan visual, spasial, interpersonal, kinestetis, musikal, linguistik, dan lain-lain. Dengan mengamati kecerdasan-kecerdasan tersebut, Howard Gardner,  pakar pendidikan dari Harvard University, AS, menyatakan  semua anak adalah cerdas. Sementra saat ini, kecerdasan itu hanya diukur dari aspek kognitif. Oleh karena itu, mengelompokkan anak berdasarkan kecerdasan kognitif, misal kecerdasan matematis, adalah salah. Sebab bisa jadi, anak tersebut punya kecerdasan yang lain, seperti musikal dan spasial. Jika guru mampu mengekplorasi kecerdasan-kecerdasan tersebut, maka sesungguhnya tidak ada anak yang bodoh.

Dari pendekatan tersebut, jika kita tarik pada kriteria pendidikan berkualitas, maka seharusnya pendidikan berkualitas tidak tergantung pada kualitas input (anak didik), mahal tidaknya prasarana, sarana, dan lingkungan pendidikan, dan semacamnya; tapi lebih ditujukan kepada kualitas para pendidik atau gurunya dalam menerapkan sistem pembelajarannya.

Lantas, bagaimana peran negara dalam meningkatkan kualitas pendidikan? Jika mengacu pada persoalan tersebut, maka peran negara seharusnya lebih menekankan kepada capacity building tenaga didik untuk meningkatkan pengetahuan dalam metode pembelajaran. Meningkatkan pengetahuan di sini maksudnya, tenaga didik mempunai banyak referensi sistem pembelajaran alternatif untuk mendidik anak-anak sekolah. Tidak terjebak pada sistem pembelajaran yang mengacu aspek kognitif semata. Mampukah? [Syaefudin Simon]