Amal Khair Yasmin

Pendidikan Karakter

Pendidikan Karakter tak Semudah Membalik Telapak Tangan

Hari-hari ini bangsa Indonesia meradang: Mana mungkin seorang ketua lembaga tinggi negara menemui petinggi perusahaan multinasional untuk minta saham kosong? Apalagi permintaan itu mengatasnamakan presiden dan wapres. Ketua lembaga tinggi negara itu, telah melakukan tindakan yang jauh melenceng dari proporsi jabatannya. Apa yang dilakukannya benar-benar memalukan.  

Sebelumnya, ketua lembaga hukum tertinggi juga masuk bui karena memperjualbelikan keputusan dalam pemilihan kepala daerah. Bayangkan, rakyat yang capai-capai kampanye, menyoblos pilihannya, dan menanti perhitungan suara pilkada dengan gemetar, tiba-tiba hasilnya dimanipulasi ketua mahkamah konstitusi. Menyakitkan. Untunglah sang perekayasa keputusan MK itu, akhirnya divonis penjara seumur hidup.

Kedua contoh tersebut menggambarkan betapa lemahnya pengawasan “karakter” dalam pemilihan ketua lembaga tinggi negara. Seandainya saja saat itu, saat diselenggrakannya pemilihan ketua lembaga tinggi negara, pihak-pihak berwenang melakukan screening karakter dengan teliti, niscaya orang-orang yang cacat karakternya tidak akan terpilih.

Kasus penyelewengan jabatan di atas, jelas ada kaitannya dengan pendidikan karakter. Jika masalah itu dirunut sejak awal – sejak ketua  lembaga tinggi negara itu masih anak-anak – maka kesimpulannya: pendidikan karakter di Indonesia gagal. Kenapa gagal? Karena orang yang cacat karakternya kok  bisa terpilih jadi pimpinan sebuah lembaga tinggi negara yang meniscayakan  orang tersebut harus bersih dan berakhlak mulia.  Jika orang yang terpilih cacat, ini juga berarti orang yang memilih cacat! Jika ketua lembaga tinggi negara terpilih cacat, padahal dia wakil rakyat, maka rakyat yang memilih pun cacat. Jadi kecacatannya merupakan sebuah jaringan! Dalam jaringan ini mungkin ada satu atau dua orang  yang baik, tapi karena terjebak dalam sistem jaringan yang cacat, maka dia pun terjerumus dalam sistem yang cacat. Jadilah orang baik itu jadi cacat.

Dalam sistem pemilihan hadist shahih dan cacat, misalnya, ada ketentuan: bila sang perawi (yang meriwayatkan hadist) itu pernah berbohong atau melakukan penyelewengan, maka hadist yang diriwayatkan akan dinilai cacat. Ini sebuah kehati-hatian yang harus dilakukan untuk mendapatkan sebuah hadist yang benar-benar shahih. Kenapa demikian? Karena hadist punya ‘nilai tuntunan’ yang sangat besar  bagi umat Islam. Bayangkan jika hadist itu cacat karena perawinya berbohong, betapa besar dampaknya terhadap umat Islam.

Masalah ini jelas menyangkut pendidikan karakter. Ulama-ulama besar, misalnya, mendidik karakter anaknya dengan sangat ketat. Anak-anak  tidak hanya mendapat materi pelajaran pendidikan karakter di sekolah atau pesantren, tapi juga pendidikan mengolah jiwa yang langsung dipraktikkan  melalui salat, puasa, dan kebiasaan sehari-hari. Itulah sebabnya Nabi Muhammad ketika ada orang badui bertanya, bagaimana mengamalkan ajaran Islam dengan mudah, jawabnya singkat: Jangan berbohong.

Perintah jangan berbohong – meski kelihatan sederhana – tapi merupakan pendidikan karakter yang dahsyat. Kenapa? Berbohong adalah benih pohon keburukan mental. Jika dibiarkan tumbuh, maka  pohon keburukan itu akan besar. Dan sang pembohong akan menjadi orang yang rusak karakternya secara total.

Itulah sebabnya pendidikan karakter itu tidak mudah. Tak semudah membalik telapak tangan. Perlu materi pendidikan, perlu latihan, perlu pembiasaan, perlu pengawasan, dan perlu penjiwaan. Tanpa itu, pendidikan karakter hanya sebatas di mulut. Demikian luas dan dalamnya dimensi pendidikan karakter, sampa-sampai Sayyidina Ali pernah menyatakan, jangan pernah memberi makan anak-anakmu dengan barang haram (baca: makanan yang dibeli dengan uang hasil korupsi misalnya), nanti makanan itu akan mempengaruhi karakter anak.  

Kasus buruknya karakter kedua pimpinan lembaga tinggi negara yang digambarkan di atas, merupakan contoh kegagalan pendidikan karakter. Kenapa gagal? Karena pendidikan karakternya hanya sebatas formalitas, tanpa jiwa.

 Mendidik karakter manusia memang tidak mudah. Tapi juga tidak sulit asalkan manusia mau serius mengikuti Al-Qur’an dan Sunnah. Bukankah Nabi Muhammad  diutus Allah untuk memperbaiki karakter (akhlak) manusia?  Dalam menjalankan tugas kenabiannya, Muhammad Saw tak hanya berdakwah dengan lisan, tapi juga dengan perbuatan. Pendidikan karakter dengan perbuatan inilah yang disebut keteladanan. Dengan demikian, Nabi Muhammad adalah sebaik-baik teladan. Sebaik-baik pendidik karakter manusia.