Oleh : Haidar Bagir
Tak akan ada yang membantah bahwa hidup di dunia terkait dengan kesejahteraan fisik dan materi, karena memang Tuhan telah merencang manusia dengan balutan fisikn sedemikian, sehingga dia hanya bisa survive dengan mengoprasikan aspek – fisiknya itu. Namun, tak sulit juga untuk sepakat bahwa pada puncaknya kebahagiaan bersifat ruhani. Kebahagiaan memang bukan sekeder kenikmatan fisik, melainkan ketentraman dan kepuasan hati. Karena itu, secara logis bisa dikatakan bahwa kebahagiaan tak mungkin bisa diraih dengan berhenti memuasi kebutuhan fisik kita. Mengapa? Karena, ada lebih banyak kebutuhan ruhani kita yang tak ada hubungannya sama sekali dengan kebutuhan fisik kita. Bahkan, sering kebutuhan ruhai atau hati kita tak selalu sejalan dengan kebutuhan fisik, malah tak jarang bertentangan. Misal, kebutuhan mencinta. Dalam hal seperti ini, kita justru mendapatkan kebahagiaan (ruhani) dengan member kepada orang – orang yang kita cintai, bahkan justru menuntutu dan mngambil darinya demi kepuasan egoistik kita. Kalaupun ada kaitannya, makanan bagi ruhani atau hati kita adalah makna yang dapat kita saring dari keterpenuhan kebutuhan fisik kita, dan bukan kebutuhan fisik itu sendiri. Memang, baik terkait dengan kebutuhan fisik maupun ruhani, kebahagiaan hidup manusia berkait dengan produksi makna dalam hidupnya, yakni sejalan dengan kebutuhan ruhaninya, ketimbang dengan aktivitas – aktivitas konkret itu sendiri.
Sebagai suatu ilustrasi, kebutuhan fisik kita menuntut kesuksesan. Yakni keterpenuhan kebutuhan – kebutuhan kita akan kekayaan, popularitas, atau kekuasaan. Tapi, pada kenyataannya, berlimpah contoh yang di dalamnya seseorang justru mengalami kesengsaraan ketika mendapatkan semuanya itu? Penyebabnya tentu saja ketakmampuan unsur – unsur kesuksesan hidup itu untuk dapat menyuplai makna yang merupakan kebutuhan ruhani kita. Maka, betapa banyak contoh orang – orang yang tampak telah memenuhi berbagai kebutuhan kesuksesan ini tapi hiduonya justru berakhir dengan depresi, bahkan bunuh diri?
Dengan demikian, mudah kita simpulkan bahwa kebahagiaan kita terletak dalam keberhasilan kita mendapatkan sebanyak mungkin makna positif dari hidup dan kehidupan kita, dari apa saja yang kita kerjakan dan hasilkan. Deficit makna hidup, sebaliknya, merupakan sumber kesengsaraan.
Sayangnya, dalam kenyataan, makna positif tak selalu tersedia begitu saja. Betapa pun kita percaya bahwa sesungguhnya kehidupan ciptaan Allah ini dipenuhi dengan makna positif, kita terkadang harus mencari positif, kita terkadang harus mencari makna tersebut. Kegagalan menemukan makna positif ini bukan saja akan menyebabkan kehampaan makna, melainkan malah dapat mencuatkan makna negatif, yang destruktif bagi prospek kebahagiaan hidup kita.
Nah, sering kita, mendapatkan makna yang kita butuhkan hanya dengan sedikit menggeser sudut pandang kita terhadap semua persoalan. Yakni, berbekal persangkaan baik bahwa hidup ini di ciptakan Allah dengan penuh kebaikan, kita upayakan melihat setiap masalah dari kacamata positif. Bahwa, dalam peristiwa apa pun sesungguhnya terkandung hikmah yang positif. Bahkan, bahwa esensi semua peristiwa di alam semesta ciptaan Allah ini bersifat positif dan membawa kebaikan untuk kita. Untuk menjelaskan hal ini, tak ada ilustrasi yang lebih jelas daripada apa yang pernah dikisahkan oleh Dr. Victor Frankl, seorang psikolog yang dikenal luas dengan metode logoterapinya.
Alkisah, menurut penuturan Dr. Frankl, datang ke tempat praktuknya seorang laki – laki tua. Dari mimik muka dan bahasa tubuhnya, tampak bahwa dia seperti sedang berada dalam tekanan kesedihan yang luar biasa. Di hadapan Dr. Frankl dia bercerita bahwa istri yang amat disayanginya yang telah menjadi pendamping hidupnya selama puluhan tahun, baru saja meninggalkannya. Akibatnya, saat ini dia merasa saat ini dia merasa hidupnya tak punya makna lagi. Selama ini, setiap kebahagiaan dan kesulitan dia bagi bersama istrinya. Tanpa istrinya, tak ada lagi yang bisa menjadi tempatnya berbagi. Kalau saja bisa, mau rasanya dia mati untuk menyusul istrinya.
Mendengar itu, Victor Frankl bertanya kepada lelaki malang itu; “Coba anda bayangkan, apa yang akan terjadi kalau istri Anda selalu bersama Anda, hingga Anda mati meninggalkannya? Memang anda tak akan mengalami kesedihan yang luar biasa seperti yang anda rasakan saat ini, tetapi kira – kira apa yang terjadi dengan istri Anda jika justru Anda yang lebih dulu meninggalkannya?” lelaki itu terhenyak dan berkata, “Jika itu yang terjadi, maka istri sayalah yang kan menanggung kesedihan yang luar biasa karena saya tinggalkan.” “ Nah, “ kata Frankl, “kematian istri Anda lebih dulu dari Anda, dan kesepian yang Anda rasakan sebagai akibatnya, seseungguhnya bermakna bahwa Anda telah menyelamatkan istri Anda dari mengalami kesedihan luar biasa seperti yang Anda rasakan sekarang.” Mendengar dan merenungkan ucapan Dr. Frankl tersebut, tiba – tiba sebuah kesadaran baru merasuki hati lelaki itu. Tiba – tiba saja ia sadar bahwa kesedihannyang dia rasakan sekarang memiliki makna positif yang tak terkira besarnya. Yakni, menyelamatkan istrinya dari kesedihan yang luar biasa kalau saja ia yang lebih dulu meninggalkannya. Maka, kontras denga sikap yang dia tunjukkan ketika datang, dia meninggalkan tempat praktik Frankl denga kebahgiaan yang luar biasa.
Nah, apakah yang membedakan situasi ketika lelaki itu datang, dan ketika Ia pergi dari tampat Frankl? Sesungguhnya tidak ada perubahan situasi riil apa pun yang dihadapi laki – laki itu. Namun, kalau sebelumnya dia datang dengan kehampaan makna hidup, maka sekarang ia pergi dengankepenuhan makna hidup. Dan hasil luar biasa itu terjadi hanya karena Dr. Frankl mampu mengajak laki – laki itu “sedikit” menggeser sudut pandangnya terhadap persoalan kematian istrinya.
Sesungguhnya, kebahagiaan tak kurang dan tak lebih dari persoalan keberadaan atau absennya makna dalam apa saja yang kita kerjakan, dalam kehidupan kita. Maka, hendaknya kit aterus berusaha menyuplai kehidupan kita dengan makna, dan menghindarkannya dari kehampaan. Kebahagiaan kita sesungguhnya dipertaruhkan di sini. Dan, dalam hal apa saja, semuanya itu tergantung sepenuhnya atas diri kita sendiri. Asal kita memiliki kemauan, tak akan pernah ada istilah jalan buntu di sini. Kehidupan yang kita jalani, di alam ciptaan Allah, tak pernah kurang dari hikmah atau makna positif ini. Seperti pandangan – awalnya. Orang yang memiliki sikap positif dalam memandang hidup pasti akan dapat menemukan makna dalam segala hal. Dan orang seperti itu punya peluang yang lebih besar untuk bahagia. Sementara yang cenderung bersikap negative dan sinis, sesungguhnya dia sedang menjerumuskan dirinya ke dalam kesengsaraan yang diciptakannya sendiri.
Sumber : Buku Islam Risalah Cinta dan Kebahagiaan