Ini cerita menarik. Salah satu ekstrakurikuler paling favorit di SMA yang berada di bawah Yayasan Sukma Bangsa di Aceh adalah “belanja di pasar”. Pasar bagi SMA Yayasan Sukma adalah laboratorium sosial yang hebat dan murah meriah, tapi efektif untuk mempelajari karakter manusia. Di pasar, murid-murid bisa melakukan penelitian terhadap karakter manusia yang bermacam-macam.
Salah satu praktikum di laboratorium sosial tersebut seperti ini: Sekolah menyuruh siswa untuk membeli daging ayam satu kilogram di beberapa pedagang di pasar terdekat. Siapa pedagangnya, di mana lapaknya harus dicatat siswa. Sampai di sekolah, daging ayam itu diperiksa. Mana yang masih segar, mana yang sudah bau, mana yang busuk. Beratnya juga dihitung kembali dengan timbangan yang benar sesuai standard internasional. Ternyata hasilnya nanti berbeda.
Ada daging ayam yang benar-benar segar. Ada yang sudah kadaluarsa dan bau. Ada yang segar tapi pakai pengawet. Macam-macam. Beratnya juga ternyata berbeda-beda. Ada yang tepat satu kilogram. Ada yang 9,95 ons. Ada yang hanya 9.0 ons. Dari hasil penelitian di laboratorium pasar itu, murid-murd bisa menyimpulkan.
Misal Pedagang A, dagingnya bagus. Timbangannya tepat. Berarti karakternya bagus. Sedangkan pedagang B, misal, dagingnya kadaluarsa. Tapi timbangannya tepat. Itu artinya pedagang B, karakternya buruk. Lalu pedagang C, dagingnya kadaluarsa. Timbangannya kurang. Karakternya amat buruk. Dengan hasil penelitian tersebut anak-anak akan tahu siapa-siapa saja pedagang yang baik dan buruk.
Ahmad Baedowi, direktur Yayasan Sukma, menyatakan, menjadikan pasar sebagai laboratorium sosial sekolah ternyata amat baik untuk mendidik anak-anak dalam mengetahui karakter manusia dan apa akibat dari karakternya itu. Anak-anak bisa mengetahui dan merasakan karakter buruk itu dapat merugikan orang, bahkan dirinya. Pedagang dengan karakter buruk langsung bisa langsung dirasakan anak-anak dan mereka tahu apa akibatnya.
Dari gambaran di atas, memperkuat pendidikan karakter – salah satu alasan Kemendikbud memperpanjang jam pelajaran di sekolah umum (yang lazim dikenal full day school) — seharusnya bisa fleksibel. Anak-anak tidak harus belajar 8 jam sehari di sekolah sehingga melelahkan dan mengganggu sistem pendidikan di madrasah dan pesantren. Sebaliknya, pendidikan karakter bisa saja dilakukan di hari-hari tertentu dengan tugas “mengamati kelakuan” manusia di pasar. Waktunya bisa diatur, disesuaikan dengan jam-jam pelajaran yang terkait dengan “pendidikan karakter” tersebut.
Di sekolah-sekolah yang berada di bawah Yayasan Sukma di Aceh, kata Ahmad Baedowi, anak-anak justru suka dengan tugas mengamati karakter pedagang di pasar tersebut. Bandingkan misalnya, dengan penambahan mata pelajaran Kewarganegaraan, Akhlak, atau Pancasila yang hanya mendengaran atau membaca buku. Anak-anak sekolah niscaya akan jenuh. Apalagi isi bacaan di buku itu pada kenyataannya sering jauh dari apa yang terlihat sehari-hari oleh mereka. Akibatnya, pelajaran karakter hanya soal bacaan dan hapalan belaka. Tidak langsung menyentuh jiwa anak-anak.
Sebaliknya kalau praktik langsung dengan mengamati perilaku pedagang di pasar, anak-anak akan bisa merasakan mana yang salah dan benar dari karakter manusia tersebut. Anak-anak juga senang berinteraksi dengan obyek yang ditelitinya. Mereka terpacu untuk mengetahui karakter-karakter manusia yang jadi obyek penelitiannya.
Sebetulnya, laboratorium sosial untuk meningkatkan pengetahuan karakter tersebut, tidak hanya pasar. Tapi juga bisa kantor polisi, terminal bus, stasiun kereta api, dan lain-lain. Banyak sekali. Dari tempat-tempat tersebut sekolah bisa membuat modul penelitian tentang berbagai hal. Tentang kedisiplinan, kecurangan, budaya antri, kedermawanan, dan lain sebagainya.
Pasar, kantor polisi, dan terminal bus bisa dikatakan sebagai laboratorium alami untuk praktek anak-anak mengetahui karakter manusia. Dari penelitian on the spot di laboratorim tersebut, hasilnya pun langsung bisa diketahui siswa. Dan siswa pun bisa merasakannya. Sangat mungkin jiwanya pun akan tersentuh.
Dari gambaran di atas, hasil dari pendidikan karakter tidak tergantung lamanya jam belajar di sekolah seperti pada tambahan waktu di full day school di atas. Tapi sebaliknya, dari efektivitas pembelajaran tentang karakter terhadap siswa. Menjadikan pasar, kantor polisi, dan stasiun bus sebagai laboratorium sosial untuk mengetahui karakter manusia jelas sangat efektif. Kemendikbud tampaknya perlu memperhatikan hal tersebut. Sekolah-sekolah di Yayasan Sukma telah lama menerapkannya.
Hasilnya sekolah-sekolah di bawah Yayasan Sukma terkenal dengan kejujurannya. Tak ada cerita anak-anak menyontek kalau ujian. Tidak ada cerita guru memperbesar nilai ujian agar anak-anak diterima di perguruan tinggi favorit tanpa test. Semuanya dilakuan dengan jujur. Apa adanya. Itulah hasil dari pendidikan karakter dengan memanfaatkan pasar sebagai laboratorium sosial sekolah.(RNM)