Sikap toleran dan menerima perbedaan hanya bisa tercipta jika seseorang memahami dan menghayati adanya keanekaragaman dalam hidup. Dalam teori Turner, sikap toleran dan menerima perbedaan, bisa dibangun dengan cara mengajak manusia untuk menyaksikan “kehidupan atau pengalaman hidup” yang berbeda dengan yang dialaminya sendiri.
Bila anak-anak terbiasa hidup dengan melihat “perbedaan” dan dia menerima perbedaan itu dengan senang hati, maka dalam dirinya akan tumbuh sikap toleran dan menghargai orang lain. Salah satu cara untuk menimbulkan sikap toleran itu, misalnya, mengajak mereka mengenal teman-temannya dari sekolah yang berbeda agama. Anak-anak perlu diperkenalkan dengan kehidupan mereka, dengan peribadatan mereka, dan bila perlu “home stay” bersama keluarga mereka. Dengan demikian, mereka akan merasakan kehidupan yang berbeda dengan yang dialaminya. Bila kehidupan yang berbeda itu indah dalam pandangannya, niscaya mereka dalam hatinya akan bisa menerima perbedaan itu. Sikap tolerannya juga berkembang.
Di samping pendekatan “persahabatan dan home stay” – pendekatan melalui organisasi sosial nonagama, olahraga, dan kesenian juga penting untuk mengembangkan sikap toleransi. Para aktivis organisasi kebangsaan atau aktivis olahraga dan kesenian, kepekaan sosial dan toleransinya tinggi terhadap sesama. Sikap toleransinya muncul karena mereka sering bekerjasama untuk mewujudkan ide-ide yang mereka cetuskan bersama.
Kesenian dan olah raga adalah instrumen dan bahasa universal. Dalam kesenian, misalnya, keindahan itu bisa dinikmati siapa pun. Dan pelakunya akan dihormati tanpa melihat agamanya. Begitu pula dalam dunia olahraga. Siapa yang berprestasi akan diakui kebesarannya tanpa melihat agamanya. Itulah sebabnya, dunia kesenian dan olahraga adalah sarana untuk menumbuhkan sikap toleran dan penghargaan terhadap sesama tanpa melihat agama dan pandangan hidupnya.
Sekolah-sekolah di Indonesia seharusnya memperbanyak porsi olahraga dan kesenian sehingga sikap toleran dan tanggungjawab kemanusiaan anak didiknya tumbuh. Sat ini, pendidikan kesenian di sekolah-sekolah porsinya sangat sedikit. Seandainya pendidikan kesenian seperti pelajaran menari, menyanyi, dan musik berkembang di sekolah, niscaya toleransi dan kepekaan sosial anak-anak akan berkmbang pula.
Mana sih orang yang suka mendengarkan musik yang lembut akan berani berkata kasar? Berkata kasar atau ujaran kebencian, tidak akan muncul jika anak itu mempunyai jiwa seni yang baik. Begitu juga jiwa yang sportif akan tumbuh bila anak-anak aktif dalam dunia olahraga.
Selama ini, pendidikan agama di sekolah cenderung mengajarkan anak untuk beragama – bukan untuk memahami agama. Mengajarkan anak untuk beragama, porsi pendidikannya lebih cenderung otorter, taklid, dan menutup mata. Sebaliknya jika mengajarkan anak tentang agama, porsi pendidikannya lebih cenderung ilmiah, obyektif, dan membuka mata terhadap agama lain. Sayangnya, yang berlaku di Indonesia adalah yang pertama. Hasilnya: makin hari makin banyak konflik antarumat beragama. Karena orang beragama cenderung memilih bersahabat dengan orang yang seagama. Pada kondisi inilah, ujaran kebencian antar pemeluk agama bermunculan! Ini karena mereka tertutup dan berkacamata kuda!