Setelah gadget atau hand phone (HP) kian populer, orang tua tampaknya tidak punya gairah lagi untuk memberikan dongengan kepada anak-anaknya di rumah. Alih-alih mendongeng, orang tua lebih memberikan HP kepada anak-anaknya untuk main games, menonton youtube, dan berbagai aplikasi permainan yang lain.
Padahal, orang tua zaman dulu punya tradisi mendongeng untuk anak-anaknya sebelum tidur. Tradisi mendongeng ini ternyata sangat baik untk perkembangan kecerdasan anak. Mendongeng memberikan imajinasi kepada anak-anak sehingga otak mereka terlatih untuk menggambarkan sesuatu yang tak terlihat oleh mata dan tak terdengar oleh telinga. Mendongeng memberikan latihan imajinasi yang sangat baik untuk membangun kecerdasan anak, baik secara visual, linguistik, maupun artistik. Tergantung bagaimana cara orang tua menyajikan dongengan-dongengannya. Bila cara mendongengnya bagus – misal memberikan ilustrasi yang baik mengenai situasi alam atau karakter tokoh-tokoh dongengnya – niscaya hal itu akan berpengaruh pula pada imajinasi anak.
Prof. Robin Dunbar, guru besar antropologi biologi di Universitas Oxford, Inggris, dalam penelitiannya menunjukkan bahwa manusia sejak zaman purba sangat terpengaruh cerita dongeng atau cerita fiksi. Menurut Dunbar, cerita epos, dongeng, dan mitologi memainkan peranan maha penting dalam membentuk corak suat bangsa.
Aristoteles pernah mengungkapkan manfaat cerita fiksi, dongeng, dan sastra dalam kehidupan. Penonton yang menyaksikan drama menyedihkan seperti Oedipus Sang Raja, kata Aristoteles, akan mengalami katarsis – yaitu perasaan lega seakan jiwanya dicuci dan menjadi bersih. Pernyataan Aristoteles 2500 tahun lalu itu, kini dibuktikan kebenarannya oleh Prof Robin Dunbar. Menurut Dunbar yang banyak melakukan penelitian antropologi-biologi, menonton film atau drama fiksi dapat memicu pelepasan endorfin, senyawa kimia yang menimbulkan perasaan senang dan meningkatkan ikatan dengan orang sekitarnya..
Lebih jauh Dunbar menjelaskan, dongeng dan cerita fiksi – sebagaimana film dan drama – mewariskan kebajikan atau menanamkan nilai-nilai luhur. Dan itu sangat penting dalam proses pembentukan kohesivitas sosial. Dongeng dan cerita fiksi, tulis Dunbar, memberikan ikatan imajiner terhadap pendengar dan penontonnya sehingga kelak menjadi acuan dalam pembentukan karakter hidupnya
Karena itu, kata Dunbar, karakter suatu bangsa dapat direkayasa melalui dongeng dan cerita fiksi. Bangsa Indonesia, misalnya, karakternya ingin dibentuk menjadi relijius, toleran, dan jujur – maka para pini sepuh atau tokoh-tokoh masyarakat harus mempopulerkan dongeng dan cerita fiksi sesuai dengan karakter yang dituju tadi.
Lihatlah bangsa Malaysia yang sedang membentuk karakter bangsanya melalui cerita anak-anak “Upin dan Ipin”. Cerita fiksi Upin dan Ipin yang ditayangkan di tivi Indonesia itu sebetulnya sebuah upaya dari Pemerintah Malaysia untuk membentuk karakter bangsanya agar jujur dan relijius.
Kembali ke masa lalu. Di Indonesia zaman dulu dongeng atau cerita fiksi sangat populer. Tapi belakangan, sejak munculnya internet dan HP android, orang tua menyerahkan “dongengannya” pada Prof. Google. Dan Google jelas tidak mampu menyeleksi apa yang dimaui anak dan apa yang diinginkan oleh orang tua dan negara. Di google anak-anak dibiarkan secara bebas memilih sendiri cerita atau fiksi yang dikehendakinya. Bayangkan, bila anak-anak itu lebih menyukai film perang – maka dalam otak mereka, karakter yang dominan adalah karakter perang atau tempur…atau gulat. Ini jelas tidak menguntungkan bagi masa depan bangsa. Padahal bangsa Indonesia ini sedang membangun. Maka karakter yang sesuai dengan kebutuhan bangsa adalah karakter yang cerdas, jujur, kerja keras, dan tidak korup.
Dari gambaran itu, orang tua hendaknya kembali mentradisikan dongeng atau cerita fiksi yang baik-baik (seperti memberi semangat belajar, kerja keras, jujur, dan rajin berdoa kepada Tuhan) kepada anak-anaknya, terutama menjelang tidur. Ini sangat baik karena kesan-kesan dari dongeng tersebut akan terbawa dalam otak bawah sadarnya.