Lapar, haus, dan lelah – itulah yang kita (umat Islam) rasakan selama bulan Ramadhan. Ustad Mujtahidin menyatakan, kelelahan dan kelaparan di bulan Ramadhan adalah “ujian paling ril” untuk menempa ketahanan hidup umat. Jika sabar dalam menghadapi lapar dan dahaga, insya Allah, tidak hanya pahala akhirat yang didapat. Tapi juga tubuh kita makin sehat. Sebagaimana halnya mesin yang perlu istirahat bekerja agar awet, maka mesin tubuh manusia pun perlu istirahat. Dan bulan Ramadhan adalah waktu atau kesempatan yang diberi Sang Pencipta kehidupan untuk mengistirahatkan mesin tubuh. Itulah sebabnya Nabi Muhammad menyatakan, puasa itu menyehatkan. Tak hanya itu. Puasa juga menyehatkan psikis. Ini karena puasa membuat hidup makin tenang, adem, dan meredam gejolak nafsu. Ujungnya hidup makin tenteram. Orang puasa kepekaan hatinya makin terasah melihat penderitaan manusia.
Lebih jauh lagi, menurut Imam Al-Ghazali puasa merupakan sarana untuk mendidik atau membentuk manusia supaya dapat menjadi pribadi yang bertaqwa. Tujuan puasa adalah meningkatkan jiwa manusia ke puncak kehidupan rohaniah yang paling tinggi dan mulia. Yaitu manusia bertakwa. Bagaimana ciri-ciri orang bertakwa. Menurut Ustad Mujahidin, penulis beberapa buku lari di Jakarta, sikap takwa seseorang akan tampak dalam perkataan dan perbuatannya.
Puasa juga medidik manusia untuk mencinta’i sesamanya (hablulm minan nas). Seseorang yang melaksanakan ibadah puasa dengan penuh keimanan dan keikhlasan (imanan wa ihtisaban), maka akan terlihat kepedulian dan kecintaannya kepada sesama manusia. Puasa akan menyadarkan orang-orang yang beriman bahwa harta, benda, pangkat, dan kedudukan adalah amanat Allah. Dengan puasa, Allah mengingatkan manusia agar jangan sampai tergoda kelezatan dan kemewahan dunia. Selama menjalankan ibadah puasa, yaitu dengan menahan rasa lapar dan segala hal yang dapat membatalkan puasa, maka otomatis seseorang akan terlatih untuk bersyukur kepada Allah. Bahwa kemewahan hidup, seperti apapun, tidak akan pernah membuat seseorang merasa puas selama tidak memiliki jiwa syukur. Dan rasa syukur kepada Allah hanya dapat diwujudkan dengan menjalankan pola hidup yang sederhana seperti dilakukan orang berpuasa.
Sekarang ini kita melihat pada bulan Ramadhan, justru konsumsi makin berlebihan sehingga harga pangan meningkat. Pada bulan Ramadhan, konsumerisme seolah-olah menjadi kebiasaan sebagian masyarakat yang sulit dihilangkan. Meskipun berpuasa, pengeluaran finansial justru melonjak untuk memenuhi kebutuhan makan-minum sehari-hari. Ramadan yang seyogianya melatih kesederhanaan dan mampu menekan pengeluaran karena berpuasa malah memboroskan uang.
Fenomana ini jelas bertentangan dengan Firman Allah Q.S Al Isro: 26-27 “.. Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros, sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syetan dan syetan itu sangat ingkar terhadap Tuhannya”. Orang yang berpuasa juga dilatih untuk menyadari kehadiran Tuhan. Ia dilatih untuk menyadari bahwa segala aktifitasnya pasti diketahui dan diawasi oleh Allah Swt. Jika kesadaran ini telah menjelma dalam diri seseorang, Insya Allah akan terbangun sifat-sifat kejujuran.
Akhirnya, Ramadhan adalah saat yang tepat untuk melatih kedisiplinan diri maupun kedisiplinan masyarakat Islam untuk tetap istiqomah dalam menjalankan perintah Allah. Secara keseluruhan, esensi pendidikan karakter semuanya ada dalam praktik berpuasa.