Sejak memasuki milenium ketiga, ada perubahan spektakuler mengenai pengembangan kecerdasan pada manusia. Jika dulu kecerdasan hanya terkait dengan akal atau rasio, sekarang tidak lagi. Saat ini, ahli-ahli psikologi modern menemukan bahwa kecerdasan itu kompleks atau majemuk. Howard Gardner menyebutnya dengan istilah multiple intelligences (MI).
Jika selama ini kecerdasan dikaitkan dengan olah akal atau olah logika, sekarang kecerdasan merambah pada olah emosi dan spiritual. Daniel Goleman telah mempopulerkan EQ (Emotional Quotient) sebagai terobosan baru untuk mengukur sejauh mana kecerdasan manusia dalam mengendalikan emosi, memunculkan rasa empati, memahami perasaan diri dan orang lain, serta cara mengendalikan dirinya. Sementara Danah Zohar dan IAN Marshall, seorang ahli fisika dan psikologi mempopulerkan SQ (Spiritual Quotient) – yaitu kecerdasan spiritual. “Kecerdasan spiritual adalah kecerdasan manusia paling puncak,” kata Zohar. Menurut Dr. Jalaluddin Rakhmat, kecerdasan spiritual merupakan potensi inheren yang ada pada setiap manusia dan perlu dikembangkan melalui bangku pendidikan atau sekolah. Potensi spiritual yang dahsyat itu harus dilatih secara sistematis dengan melibatkan kurikulum, guru, dan lingkungan yang sehat. Tujuan pendidikan, kata Jalaluddin Rakhmat, tidak hanya mencerdaskan otak dan emosi para peserta didik, tapi juga memberikan kecerdasan spiritual pada anak-anak. Dengan meningkatkan kecerdasan spiritual pada anak, berarti kita melatih anak untuk memiliki kemampuan dalam meraih kebahagiaan. Alasan mengapa kecerdasan spiritual itu penting, tambah Jalaluddin Rakhmat, karena tantangan masa kini tidak bisa dihadapi hanya dengan mengandalkan skill intelektual (IQ).
Dunia saat ini semakin kompleks. Dalam dunia yang makin kompleks ini manusia tidak hanya butuh kecerdasan intelektual dan emosional untuk mengatasi persoalan yang dihadapinya, tapi juga butuh kecerdasan spiritual (SQ). Lalu apa yang dimaksud dengan SQ itu? Kang Jalal – panggilan akrab Jalaluddin Rakhmat — membuat karakteristik orang yang cerdas secara spiritual, yaitu 1). Kemampuan untuk mentransendensikan yang fisik dan material (the capacity to transcend the physical and material). 2). Kemampuan untuk mengalami tingkat kesadaran yang memuncak (the ability to experience heigtened states of consciousness). 3). Kemampuan untuk menyakralkan pengalaman sehari-hari (the ability to sanctify everyday experience). 4). Kemampuan untuk menggunakan sumber-sumber spiritual untuk menyelesaikan masalah (the ability to utilize spiritual resources to solve problem) dan 5). Kemampuan untuk berbuat baik (able to do good deed).
Dua karakteristik pertama (1 dan 2) sering disebut sebagai komponen inti kecerdasan spiritual. Anak yang merasakan kehadiran Tuhan atau makhluk ruhaniah di sekitarnya berarti mengalami transendensi fisikal dan material. Ia telah memasuki dunia spiritual, yaitu mencapai kesadaran kosmis yang menggabungkan ia dengan seluruh alam semesta sehingga merasa bahwa alamnya tidak terbatas pada apa yang disaksikan dengan alat-alat indriawinya.
Sedangkan karakteristik ketiga merupakan saintifikasi (pengudusan) pengalaman sehari-hari, bisa terjadi bila kita meletakkan pekerjaan biasa dalam tujuan yang agung. Orang yang cerdas secara spiritual tidak memecahkan persoalan hidup hanya secara rasional atau emosional saja, tapi ia menggabungkannya dengan makna kehidupan spiritual. Adapun karakter keempat terlihat pada orang-orang yang menjalankan misi suci dalam kehidupaannya. Hal ini tersirat dalam pernyataan Tuhan dalam Al-Qur’an: “Orang-orang yang bersungguh-sungguh (mencari keridhaan) Kami, Kami akan tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami” (QS Al-Ankabut: 69). Pinjam sitilah Heinrich Heine – tujuan dan misi hidup itulah yang membuat manusia kelihatan besar atau kecil.” Sebagai contoh, dua manusia A dan B melakukan perbuatan yang sama, misal menanam pohon. A menanam pohon tujuannya untuk meredam pemanasan global, sedang B menanam pohon untuk memanfaatkan kayunya. A adalah manusia besar, sedang B manusia biasa.
Karakteristik kelima adalah berbuat baik dan bijak untuk kebahagiaan bersama umat manusia. Karakter kelima ini terungkap dalam sabda Rasul Muhammad: Amal paling utama ialah engkau masukkan rasa bahagia pada sesama manusia. Atau hadist Nabi yang lain: sebaik-baik manusia adalah manusia yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya. Menurut Robert A. Emmons, “memberi maaf, bersyukur, mengucapkan terima kasih, bersikap rendah hati, menunjukkan kasih sayang, kearifan, adalah bagian dari kebaikan dan kebajikan itu.