Mendongeng adalah mendidik anak yang paling efektif. Karena itu, dongeng adalah pendidikan moral dan ahlak yang efektif untuk anak. Dongeng dapat memberikan “vitamin” dan “protein” yang mengandung nilai-nilai kesantunan, kejujuran, kesetiakawanan, kerja keras, dan masih banyak lagi kepada anak.
Sayangnya, budaya mendongeng di masyarakat kita, Indonesia, kini terkikis oleh perkembangan teknologi dan kesibukan kerja orang tua sehingga mereka tidak sempat membiasakan diri mendongeng untuk sang buah hati. Padahal pendidikan budi pekerti adalah tanggung jawab orang tua, bukan semata tanggung jawab guru di sekolah.
Pendidikan karakter, misalnya, sulit dijelaskan dengan kata-kata. Tapi dengan dongeng, anak-anak mudah mencernanya. Kenapa? Karena dongeng atau bercerita tentang sesuatu, merupakan satu hal yang disukai anak-anak. Mendengarkan dongeng atau cerita hanya butuh telinga. Lalu perhatian. Jika sang pendongeng pintar mengambil hati anak-anak, maka dongengan pun akan makin menyenangkan mereka. Dan secara tak langsung akan membetot perhatiannya.
Dongeng Timun Mas dan Buto Ijo, misalnya. Dongeng ini menggambarkan gadis yang baik budi pekertinya tapi terancam oleh kebiadaban Buto Ijo. Dalam kisah itu, Timun Mas mendapat bantuan Dewi Nawang Wulan. Dan kemudian berhasil menundukkan Buto Ijo. Pelajaran dari dongeng Timun Mas ini adalah kebaikan budi bisa mengalahkan kesewenang-wenangan. Ini sebuah pendidikikan karakter yang sangat baik.
Di Indonesia, kata Raja Dongeng Kusumo Priyono, dongeng-dongeng yang mendidik anak banyak sekali. Orang-orang tua zaman dahulu, ungkap Kusumo, tiap akan tidur selalu memberikan dongeng kepada anak-anaknya. Anak-anak tertidur sambil membawa mimpi dongengan orang tuanya, ujar Kang Kus.
Sekarang bandingkan dengan cerita tivi Sincan atau Masha and The Bear. Cerita-cerita Sincan, menurut Kang Kus – panggilan akrab Kusumo – tidak jelas arah pendidikannya. Cerita itu hanya lucu-lucuan yang bikin anak gemas. Tapi unsur pendidikan karakternya nyaris tak ada. Apalagi cerita Masha and The Bear. Masha, gadis kecil itu kelihatan sangat nakal, cerewet, dan suka mengganggu Beruang baik. Beruang baik? Ini pun, menurut Kusumo, bukan pendidikan yang tepat. Bagaimana nanti kalau anak-anak suatu ketika melihat atau bertemu dengan beruang di hutan. Dikiranya beruang itu baik seperti cerita Masha and The Bear. Padahal, tak ada beruang yang baik. Beruang itu binatang buas.
Mahmudin, seorang ayah dari dua anak, pernah bingung melihat anak perempuannya jadi nakal. Ia suka mengganggu ayahnya kalau lagi menulis di komputer. Suka mengambil buku ayahnya yang sedang dibaca kemudian dilemparkan begitu saja. Ayahnya berpikir, ini anak kok nakal begini. Siapa yang mengajarinya? Ternyata setelah diselidiki, anak perempuannya suka sekali nonton Masha and The Bear di tivi. Tingkah lakunya itu ternyata meniru mentah-mentah kelakuan Masha. Itulah imitasi karakter yang diperoleh dari dongeng di tivi. Karena itu tayangan dongeng atau cerita di tivi untuk anak-anak harus diteliti serius, apakah dongeng tersebut berdampak buruk pada karakter anak atau tidak.
Saat ini, kata Kusumo, mendongeng menjadi sangat langka di masyarakat. Padahal dongeng merupakan khasanah budaya yang mengandung nilai-nilai luhur yang sangat bermanfaat untuk mendidik anak-anak. Kebiasaan mendongeng menjadi hilang di kalangan orang tua setelah banyaknya siaran televisi dengan berbagai ragam cerita anak-anak yang sekilas menarik. Padahal misi yang disampaikannya terkadang keluar dari semangat mendidik anak-anak. Shincan yang digambarkan sebagai anak badung, bandel dan kurang ajar, misalnya, sangat tidak sesuai dengan kharakter budaya bangsa Indonesia yang menganut adat ketimuran.
Kusumo Priyono mengusulkan setiap guru taman kanak kanak memiliki ketrampilan untuk mendongeng. Kebiasaan mendongeng yang hilang dari rumah tangga hendaknya dikembalikan, sekurang-kurangnya melalui pendidikan taman kanak kanak. “Guru TK itu harus pandai mendongeng,” paparnya. Anak usia taman kanak kanak, lanjutnya, belum saatnya memperoleh pendidikan berhitung dan menulis. Dunia anak-anak adalah dunia bermain, bernyanyi, dan dongeng.