”Pernahkah Anda melihat orang yang berbuat jahat terhadap orang yang amat dicintainya?” seseorang bertanya pada Abu Dzar al-Ghiffari, sahabat Rasulullah SAW. ”Pernah, bahkan sering,” jawab Abu Dzar. ”Dirimu sendiri itu adalah orang yang paling kamu cintai. Dan kamu berbuat jahat terhadap dirimu bila durhaka kepada Allah,” jelasnya.
Dengan mengacu pada pendapat Abu Dzar tadi, sebenarnya banyak di antara kita yang tega berbuat jahat terhadap ‘orang’ yang amat dicintainya. Tapi anehnya, kita — yang gemar berbuat dosa — lupa bahwa apa yang kita lakukan sesungguhnya merupakan perwujudan kebencian terhadap diri sendiri. Cinta adalah fitrah yang diberikan Allah untuk semua makhluk guna mempertahankan eksistensinya. Manusia berkembang biak karena cinta. Kelestarian lingkungan menjadi kepedulian manusia karena cinta. Dan yang lebih penting, cinta — ini yang perlu kita sadari — merupakan refleksi keberadaan alam malakuti yang abadi. Itulah sebabnya, bila dua sejoli sedang dimabuk cinta, maka apa yang terbayangkan dan diangankannya, cinta mereka akan abadi. Tapi sayang, keabadian cinta yang diangankannya hanya terbatas pada hal-hal yang bersifat duniawi, yang justru menghambat cinta malakuti.Salah satu unsur penting yang menghambat perjalanan cinta malakuti adalah cinta dunia (hubb al-dunya). Cinta dunia, dilukiskan oleh Sayyidina Ali, sebagai biang dari segala bencana. Bila hati manusia sudah terperosok dalam cinta dunia, maka logika-logika aneh pun muncul dari pikirannya.
Salah satu logika anehnya, kata Abu Dzar, ia amat berharap rahmat dan ampunan dari Allah, padahal dalam hidup sehari-harinya, ia amat jauh denganNya. ”Rahmat dan ampunan Allah,” tegas Abu Dzar, ”tak dihambur-hamburkan begitu saja hingga setiap orang akan mendapatkannya.”
Kata Abu Dzar, setan punya senjata pamungkas, berupa godaan pada manusia untuk mengharap rahmat Allah, sementara ia terus berusaha menjauhkannya dari ibadah dan amal saleh. Korban senjata pamungkas ini paling suka memaafkan dirinya sendiri. ”Rahmat Allah Mahaluas. Dosaku pasti dimaafkanNya,” kata korban. Padahal ia tetap saja tak mau bertobat.
Orang yang berbuat dosa, tulis Imam Ghazali dalam Ihya Ulum al-Din, bukan hanya mencelakakan dirinya, tapi juga menghina Allah, karena ia menyelewengkan amanah yang telah diberikan kepadanya. Lidah dan tangan yang Allah berikan kepada manusia untuk dipakai berzikir serta beramal saleh, misalnya, ia diselewengkan untuk mengumpat dan mengambil hak orang lain. Meski demikian, bila kita segera bertobat dengan sungguh-sungguh, Allah masih membuka pintu maafNya. Tapi perlu diingat pula, menunda-nunda tobat termasuk sikap yang menghina Allah juga. Naudzubillah mindzalik!