Musik dan puisi tak bisa dipisahkan dari kehidupan Maulana Jalaludin Rumi – penyair sufi dari Balkh (Afghanistan) yang karya-karyanya paling banyak dibaca orang di dunia. Gallup, misalnya, mencatat sampai saat ini, karya-karya Rumi masih menjadi perbincangan hangat di Amerika. Buku-buku puisi karya Rumi pun masih laris manis di Barat, meski sang penyair sufi itu telah meninggal 809 tahun lalu. Bagi Rumi — musik dan puisi bukan hanya sebagai sarana dakwah, tapi juga sarana untuk meningkatkan pengalaman spiritual untuk menuju langit. Dengan kata lain, musik dan puisi adalah sarana kontemplasi dan meditasi, serta kendaraan naik menuju pengalaman kerohanian yang lebih tinggi. Tak hanya itu. Musik juga berfungsi sebagai sarana pemulihan untuk jiwa yang tersesat. Karena itu Ibnu Sina, filsuf yang juga dokter, menggunakan musik sebagai sarana pengobatan bagi pasien yang mengalami gangguan jiwa. Dalam estetika sufi, seni sebagai ungkapan jiwa memiliki setidak-tidaknya empat fungsi yang bermanfaat bagi pemulihan jiwa. Pertama, tajarrud — yaitu pembebasan jiwa dari hal-hal yang bersifat duniawi dan kebendaan melalui hal-hal yang bersifat duniawi. Bunyi yang merupakan media musik; kata yang merupakan media puisi; bentuk dan warna yang merupakan media seni rupa; gerak yang merupakan media puisi – berasal dari hal-hal yang duniawi. Namun oleh sufi, semuanya dapat diolah menjadi tangga menuju pengalaman kerohanian yang lebih tinggi. Kedua, tawajjud (dari kata wajd yang artinya perjumpaan dalam hati, kekhusyukan, ekstase). Seni memberikan kekhusyukan sebab itu dapat dijadikan sarana kontemplasi dan meditasi. Ketiga, seni mendidik jiwa manusia untuk mengendalikan dan membimbing perasaan agar bersifat positif. Keempat, seni memiliki fungsi sosial. Ia mengikat suatu komunitas dalam kebersamaan. Rumi dikenal sebagai pencipta komposisi musik dan lagu, serta seorang koreografer puisi yang hebat pada zamannya. Beliau mahir meniup seruling. Alat musik kegemarannya selain seruling adalah rebab, biola, rebana, tabla, dan pandura. Buku puisinya, Matsnawi, diawali dengan pemaparan “Kisah Lagu Seruling”, yang melambangkan kerinduan para sufi untuk kembali ke kampung halamannya yang abadi di alam Ketuhanan. Musik yang indah, bagi Rumi, adalah ungkapan kerinduan seseorang terhadap asal usul kerohaniannya di alam yang sebenarnya tidak jauh dari dirinya. Allah lebih dekat dari urat lehermu, papar Alqur’an. Demikian gambaran kedekatannya. Menurut Rumi kerinduan segala sesuatu kepada asal-usulnya atau permulaan kejadian dirinya bersifat kudrati. Dalam Mathnawi Rumi menulis: Hasrat tubuh akan padang hijau dan air yang memancar karena ia (Adam) berasal dari tempat itu (Taman Eden). Kerinduan jiwa kepada Kehidupan dan Yang Maha Hidup terbit karena ia berasal dari Jiwa Abadi Dalam sajak “Kisah Lagu Seruling” Rumi mengumpamakan kerinduan seorang sufi untuk bersatu dengan Tuhannya sama halnya dengan kerinduan seruling terhadap asal-usulnya, yaitu batang bambu. Rasa pilu yang terdengar melalui Lagu Seruling muncul karena kesadaran bahwa ia terpisah jauh dari batang bambu yang merupakan tempat asalnya. Hasratnya untuk kembali dan bersatu dengan asal-usulnya menyebabkan ia tergerak menyampaikan keluh-kesahnya dalam nyanyian yang merdu. Seruling melambangkan jiwa yang rindu kepada asal-usul kerohaniannya dalam alam metafisik, dan kerinduannya itu dibakar oleh api cinta. Karena dibakar oleh api cinta maka nyanyian indah dan lagu merdu dapat dihasilkan. Dalam sajak itu Rumi hendak menjelaskan bahwa semua bentuk seni yang indah berasal dari hati seorang seniman yang cinta akan keindahan hakiki dan dari perasaan rindunya yang membara untuk mencapai keindahan tersebut. Melalui lagu atau nyanyian yang disampaikannya seseorang berikhtiar mengekpresikan dan merealisasikan diri. Dalam sajaknya yang lain Rumi menyatakan bahwa nyanyian yang merdu dan musik keagamaan yang indah dapat menerbitkan perasaan rindu dan cinta di hati pendengarnya. Hal ini dapat terjadi disebabkan lagu keagamaan yang indah dan penuh harmoni dapat membawa jiwa manusia kepada suara-suara yang pernah di dengarnya dalam alam keabadian. Menurut Alqur`an, Adam dan Hawa yang merupakan nenek moyang umat manusia, pada mulanya bermukim di taman firdaus yang diliputi keindahan. Di sana mereka akrab sekali dengan lagu-lagu dan suara yang indah. Maka suara musik atau lagu keagamaan yang indah dapat membakar kerinduan jiwa manusia kepada surga, yang merupakan tempat asal-usul ruh. ***