Ada pameo: orang Islam itu niscaya menyukai ilmu astronomi. Kenapa? Karena penentuan waktu dalam ibadah wajib orang Islam selalu terkait dengan astronomi seperti salat Subuh, Duhur, Asar, Magrib, dan Isya. Lalu menentukan awal bulan Ramadan, hari raya Idul Fitri, Idul Adha, dan ibadah-ibada sunah yang lain. Pendeknya, orang Islam mau tidak mau harus mempelajari astronomi untuk mendukung akurasi waktu-waktu ibadahnya. Itulah sebabnya atronomi merupakan cabang keilmuan yang memiliki posisi istimewa dalam Islam. Dalam Islam, ilmu astronomi disebut dengan ilmu falak. ‘Falak’ atau ‘aflak’ dalam bahasa Arab bermakna orbit atau garis edar benda-benda angkasa. Di dalam al Qur’an disebutkan: “wa kullun fi falaki[n] yasbahun” (dan masing-masing beredar pada garis edarnya) [QS. Yasin [36] : 40].
Seperti ilmu-ilmu lainnya, astronomi Islam berkembang melalui penerjemahan karya-karya astronomi asing khususnya astronomi India, Yunani dan Persia. Astronomi Yunani paling banyak mempengaruhi corak astronomi Islam. Di masa Abbasiyah, astronomi mendapat perhatian luar biasa dari penguasa dengan banyaknya dana yang dialokasikan untuk kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan diskusi dan observasi astronomi.
Salah seorang ulama Islam yang sangat berjasa dalam mengembangkan astronomi adalam Al-Battani. Nama lengkapnya adalah Abu Abdallah Muhammad Ibn Jabir Ibn Sinan Al-Battani. Ia lebih dikenal dengan panggilan Al-Battani atau Albatenius. Buah pikirnya dalam bidang astronomi yang mendapatkan pengakuan dunia adalah lamanya bumi mengelilingi bumi. Berdasarkan perhitungannya, ia menyatakan bahwa bumi mengelilingi pusat tata surya tersebut dalam waktu 365 hari, 5 jam, 46 menit, dan 24 detik. Perhitungannya mendekati dengan perhitungan zaman modern. Itulah hasil jerih payahnya selama 42 tahun melakukan penelitian yang diawali pada musa mudanya di Raqqa, Suriah.
Al-Battani menemukan bahwa garis bujur terjauh matahari mengalami penambahan sebesar 16,47 derajat sejak perhitungan yang dilakukan oleh Ptolemy. Al Battani juga menentukan secara akurat kemiringin ekliptik (garis edar bumi terhadap matahari), panjangnya musim, dan orbit matahari. Ia pun berhasil menemukan orbit bulan, planet, dan benda-benda angkasa lain.
Bukunya tentang astronomi yang terkenal adalah Kitab Al Zij. Buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Latin pada abad ke-12 dengan judul De Scienta Stellerum De Numeris Stellerum et Motibus oleh Plato dari Tivoli. Terjemahan tertua dari karyanya itu masih ada di Vatikan sampai sekarang. Tak heran bila tulisannya, memberikan pengaruh bagi perkembangan ilmu pengetahuan di Eropa hingga datangnya masa Pencerahan.
Al Battani lahir di Battan, Harran, Suriah pada sekitar 858 M dan wafat tahun 929 M di Samarra, dekat Damaskus. Ketertarikannya dengan benda-benda langit membuat Al Battani menekuni astronomi. Secara informal ia mendapatkan pendidikan dari ayahnya yang juga seorang ilmuwan, Jabir Ibn San’an Al-Battani. Al-Battani sangat disayangi oleh Harun Al Rashid, khalifah kelima dalam dinasti Abbasiyah karena kepandaiannya dalam astronomi. Khalifah memberikan dana untuk mengembangkan astronomi tanpa batas kepada Al-Battani. Selain astronomi, Al-Battani juga dikenal sebagai ahli matematika. Matematika ditekuni Al-Battani sebagai pendukung untuk mengembangkan astronomi.
Kini, astronomi menjadi barometer kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sebuah negara. Amerika dan Rusia dikenal sebagai negara yang sangat maju karena keunggulannya dalam bidang astronomi, baik teori maupun terapan. Pesawat ruang angkasa, satelit, teleskop, dan wahana penelitian angkasa luar yang lain telah diluncurkan kedua negara tersebut ke langit nan luas untuk mengeksplorasi jagad raya. Jika masyarakat internasional mengagumi kemajuan dunia astronomi dewasa ini, maka ingatlah Al-Battani. Dialah ilmuwan yang pertama memadukan astronomi dengan matematika secara modern melalui berbagai uji coba laboratorium. Sumbangan terbesar Al-Battani, tulis Russel, adalah pemakaian matematika baik secara teori maupun terapan dalam mengembangkan astronomi. Dan itulah dasar-dasar pengembangan astronomi modern.