Sebuah SMA di Yogyakarta melakukan uji coba pendidikan antikorupsi. Caranya sederhana. Sekolah tersebut membuat warung makanan tanpa penunggu dan pelayan. Warung tersebut menyajikan makanan dan minuman lengkap dengan label harganya. Jadi, siapa pun yang membeli makanan itu, tinggal ambil saja di warung, lalu menaruh uang di kotak yang disediakan.
Lalu, bagaimana mengukur kejujuran para siswa sekolah itu? Setiap hari, hasil warung itu dihitung. Apa rugi atau untung. Jika untung, sesuai dengan kalkulasi bisnis, maka anak-anak sekolah tersebut berarti jujur. Bila rugi, berarti anak-anak itu tidak jujur alias korup.
Ternyata, warung kejujuran tersebut hanya berlangsung beberapa bulan saja karena rugi. Kesimpulannya, anak-anak sekolah itu tidak amanah. Tidak jujur. Warung tanpa penjaga tersebut ternyata memberikan petunjuk bahwa pendidikan antikorupsi di sekolah gagal.
Pendidikan antikorupsi di Indonesia sedang jadi perbincangan. Masalahnya memang kontroversial. Pendidikan agama makin intens, mushala makin ramai, pengajian di tivi dan radio makin marak. Hasilnya: alih-alih masyarakat makin jujur dan bertanggungjawab sesuai dengan ajaran agama Islam, yang terjadi justru sebaliknya. Korupsi makin banyak.
Ada seorang bupati di Indonesia Timur yang baru dilantik seminggu, langsung ditangkap KPK karena korupsi. Beberapa anggota DPR RI yang baru beberapa hari dilantik pun ada yang dicongok KPK. Juga karena korupsi. Pejabat di Kementerian Agama ada yang korupsi melalui proyek pengadaan kitab suci Alqur’an. Sedangkan DPR melakukan korupsi dengan membuat UU yang memberikan peluang untuk manipulasi.
Korupsi telah menjadi fenomena sosial yang mengkhawatirkan di Indonesia. Kenapa hal itu terjadi? Karena pendidikan moral dan agama rendah? Jawabnya: karena tak ada keteladanan.
Keteladanan adalah pendidikan paling efektif untuk mempengaruhi manusia. Umat Islam di masa Rasulullah terkenal jujur, ramah, dan mengembangkan kasih sayang karena ada teladan dari Rasulullah. Bangsa Vietnam mau hidup sederhana karena ada keteladanan Ho Chi Minh, bapak bangsanya. Pendidikan antikorupsi di Indonesia, kalau ingin berhasil, harus memunculkan keteladanan dari para pemimpinnya.
Dalam acara Mata Najwa Rabu malam (24/2/016) di Metro Tivi, salah seorang anak Presiden Jokowi mengungkapkan pesan-pesan bapaknya yang selalu diingatnya. “Jadilah orang sederhana meski punya harta banyak. Tak usah beli jet pribadi meski kamu mampu membelinya,” ungkap Jokowi kepada Kaesang Pangarep, anak bungsunya.
Pesan Jokowi itu sangat mengena ketika banyak orang kaya dan pejabat di Indonesia sangat suka membeli pesawat jet pribadi. Memang tidak ada yang salah jika orang banyak uang membeli pesawat jet pribadi. Yang salah hanyalah, kelakuan dan gaya hidup mewah tersebut tidak bisa jadi teladan yang baik untuk mencegah korupsi. Bahkan gaya hidup mewah tersebut cenderung ditiru oleh orang lain sehingga menumbuhkan kecenderungan untuk hidup mewah dan selanjutnya melakukan korupsi untuk membiayai hidup mewahnya.
Maraknya orang-orang kaya membeli jet pribadi ini, menurut Prof. Sarlito Wirawan Sarwono, adalah gejala munculnya penyakit sociophrenia di kalangan elit bangsa. Pengidap sociophren ini tidak bisa membedakan antara apa yang seharusnya dikatakan dan apa yang seharusnya dilakukan. Antara pernyataan lisan dan perbuatan ada kesenjangan luar biasa. Mereka menderita sosio-schizophrene alias sociophrene. Orang kaya penderita sociophrene semacam itu sama sekali tidak bermanfaat untuk memperbaiki akhlak bangsanya. Sebaliknya, hanya memberikan teladan buruk untuk menghancurkan bangsanya.
Saat ini, kondisi ekonomi Indonesia makin buruk. Untuk bayar utang, pemerintah harus utang lagi. Jadi, gali lubang tutup lubang. Sedangkan lubangnya tiap tahun makin dalam. Jika hal itu berlangsung terus menerus, negeri ini bangkrut. Bagaimana solusinya? Para elit politik dan ekonomi harus memberikan teladan kejujuran dan kesederhanaan. Itulah pendidikan antikorupsi paling efektif untuk Indonesia.