Apakah seorang pendidik harus menjadi guru? Atau seorang guru harus menjadi pendidik? Tidak, kata Paulo Freire. Setiap orang bisa menjadi pendidik.
Pendidik perdefinisi adalah orang yang memberi didikan. Orang yang memberi pelajaran secara integratif. Guru mengajarkan matematika di sekolah, apakah dia seorang pendidik? Belum tentu. Bisa jadi, ia hanya seorang pengajar. Bukan guru! Seandainya sang guru matematika menerapkan kejujuran, kebenaran, dan logika yang rasional dalam kehidupan sehari-hari seperti “ filosofi matematika” yang kemudian ditiru oleh murid-muridnya, maka barulah ia menjadi seorang pendidik. Tapi bila dalam kehidupan sehari-hari guru matematika itu suka berbohong, melanggar rambu lalulintas di jalan, dan korupsi, maka jelas dia bukan pendidik, tapi hanya pengajar. Dan pengajar sebetulnya tak punya hak dipanggil guru.
Karena itu setiap orang seharusnya bisa menjadi pendidik. Ini karena setiap orang punya akal, pikiran, hati, dan perasaan. Meski demikian, menerapkan akal, pikiran, hati, dan perasaan dalam kehidupan tidaklah mudah! Manusia, kata Freire, lebih suka mentransfer ilmu pengetahuan ketimbang “menjalankan filosofi dan tujuan ilmu pengetahuan”.
Seorang pendidik harus merasakan semua manusia selalu menilai perbuatannya. Karena itu, dia tidak mau melanggar aturan-aturan dan norma-norma yang tidak mendidik. Seorang pendidik tidak akan mau melakukan korupsi. Ini karena perbuatan korupsi bertentangan dengan tujuan pendidikan. Seorang pendidik tidak akan mau melanggar peraturan lalu lintas karena perbuatan itu tidak mendidik.
Tak hanya itu. Pendidikan dalam arti yang sebenarnya kini langka dalam kehidupan sehari-hari. Banyak orang mengatakan di sekolah-sekolah formal seringkali para pendidik bersikap seperti penguasa atau raja. Merasa paling berkuasa, merasa paling berilmu, merasa paling benar. Sedangkan anak-anak muridnya dianggap sebagai “burung beo” yang harus meniru apa yang dikatakannya. Padahal apa yang dikatakannya belum tentu sesuai dengan perbuatannya.
Jika hal itu terjadi, apa yang harus dicontoh dari sang guru? Sudah lama dunia pendidikan formal (sekolah) kita dikritik sebagai tempat yang kurang nyaman bagi siswa didik dalam mengeksplorasi dan menumbuhkembangkan jatidiri. Sekolah tak ubahnya kerangkeng penjara yang menindas para murid. Mereka harus menjadi sosok yang serba penurut, patuh, dan taat pada komando. Imbasnya, mereka menjadi sosok mekanis yang kehilangan sikap kreatif dan mandiri. Mereka belum terbebas sepenuhnya dari suasana keterpasungan dan penindasan.
Yang lebih mencemaskan, dunia persekolahan kita dinilai hanya menjadi milik anak-anak orang kaya. Usai menuntut ilmu, mereka menjadi penindas-penindas baru sebagai efek domino dari proses dan sistem yang selama ini mereka dapatkan di sekolah. Sungguh sangat beralasan jika banyak pengamat pendidikan yang menilai bahwa dunia persekolahan kita selama ini hanya melahirkan kaum penindas. Sementara itu, anak-anak dari kalangan masyarakat kelas bawah yang tidak memiliki akses terhadap dunia pendidikan hanya akan menjadi kacung dan kaum tertindas.
Kritik di atas bukan untuk ditolak atau diperdebatkan, tapi untuk direnungi. Benarkah sekolah formal kita masih represif terhadap murid-muridnya? Benarkan sekolah kita tidak menghasilkan manusia-manusia yang berakhlak mulia dan merdeka? Jika tidak, kenapa tingkat korupsi di negeri kita masih sangat tinggi? Kenapa pula anak-anak sekolah masih suka menyontek pada ujian nasional?
Lalu, siapa yang salah? Yang salah adalah karena tidak setiap orang menjadi pendidik. Padahal seharusnya setiap orang adalah pendidik. Minimal pendidik untuk dirinya sendiri. ss