Ada dua istilah dalam bahasa Arab yang merujuk pada “puasa”, yaitu “as-siyam” dan “as-saum”. Makna kedua istilah tersebut berbeda, kendati pada intinya sama-sama merujuk pada “puasa”. Lalu, kenapa dalam niat puasa Ramadhan memakai kata as-saum, padahal Al-Quran menggunakan kata as-siyam untuk memerintahkan orang-orang mukmin berpuasa?
Allah Swt. berfirman tentang kewajiban berpuasa untuk kaum beriman atau mukmin dalam QS. Al-Baqarah [2]: 183: “yā ayyuhallażīna āmanụ kutiba ‘alaikumuṣ-ṣiyāmu kamā kutiba ‘alallażīna ming qablikum la’allakum tattaqụn (Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa).”
Dalam ayat tersebut, puasa dibahasakan dengan aṣ-ṣiyām. Istilah Al-Qur’an itu berbeda dengan redaksi niat berpuasa Ramadhan, yang menggunakan kata aṣ-ṣaum: “Nawaitu shauma ghadin ‘an adā’i fardhi syahri Ramadhāna hādzihis sanati lillāhi ta’ālā (Saya berniat puasa esok hari demi menunaikan kewajiban bulan Ramadhan tahun ini karena Allah ta’ala).”
Kenapa berbeda? Padahal, sebagaimana penjelasan Almaghfurlah KH. Abdul Syakur Yasin atau Buya Syakur dalam beberapa pengajiannya, aṣ-ṣaum berbeda dengan aṣ-ṣiyām. Aṣ-ṣiyām berarti “tidak makan, minum dan berhubungan badan”, sementara aṣ-ṣaum adalah “puasa bicara”.
Makna aṣ-ṣaum sendiri dijelaskan dalam ayat yang mengisahkan tentang Maryam As., yaitu QS. Maryam: 26: “Fa kulī wasyrabī wa qarrī ‘ainā, fa immā tarayinna minal-basyari aḥadan fa qulī innī nażartu lir-raḥmāni ṣauman fa lan ukallimal-yauma insiyyā (Makan, minum, dan bersukacitalah engkau. Jika engkau melihat seseorang, katakanlah, ‘Sesungguhnya aku telah bernazar puasa (bicara) untuk Tuhan Yang Maha Pengasih. Oleh karena itu, aku tidak akan berbicara dengan siapa pun pada hari ini).”
Kejadian yang diceritakan ayat tersebut menggambarkan situasi ketika Maryam kembali kepada kaum Bani Israil sembari menggendong bayi Nabi Isa As.
Soal penggunaan kata aṣ-ṣaum, alih-alih menggunakan aṣ-ṣiyām dalam niat puasa Ramadhan, Buya Syakur pernah menjelaskan, itu karena pada masa penetapan redaksi niat berpuasa Ramadhan, ilmu linguistik belum berkembang dengan matang.
Terlepas dari masalah teknis ketatabahasaan tersebut, menurut Buya Syakur, pemilihan redaksi aṣ-ṣaum juga membawa makna tersendiri. Maksudnya, redaksi tersebut sengaja dipilih untuk memberikan penekanan bahwa puasa yang diniatkan bukan sekadar puasa untuk menahan makan, minum, dan berhubungan badan, tetapi lebih dalam dari itu, yaitu menahan lisan agar tidak banyak bicara.
Makna puasa diam lebih dalam karena, dengan diam, mata batin seorang mukmin akan lebih terbuka. Jika seseorang terbiasa tidak berbicara, telinganya akan lebih sering mendengarkan—hingga akhirnya mampu mendengar kata hatinya yang membawa pesan-pesan kebaikan. Sedangkan orang yang banyak bicara sulit mendengarkan suara atau pesan kebaikan yang datang kepadanya.
Oleh: Faried Wijdan