Di Magelang, dulu ada sekolah yang murid-muridnya terkenal nakal. Suka tawuran. Suka gelut. Guru-guru sudah pusing bagaimana mengatasi kondisi itu.
Lalu, guru-guru pun rapat membahas masalah kenakalan murid tersebut. Dari rapat itu, ada usul menarik. Seorang guru bahasa mengusulkan bagaimana jika sekolah mewajibkan murid-murid memakai bahasa jawa kromo inggil. Menurut guru itu, bila murid-murid memakai bahasa halus, maka budinya juga akan halus. Kenakalan pun akan hilang.
Usul pun diterima. Sekolah mewajibkan anak-anak memakai bahasa jawa inggil yang halus dalam pergaulan sehari-hari, khususnya ketika di sekolah. Hasilnya luar biasa: kenakalan pun hilang. Anak-anak makin baik, budinya makin halus.
Kata Aristoteles, bahasa mencerminkan jiwa. Orang yang tutur bahasanya lembut, jiwanya lembut. Dan sebaliknya. Ketika anak-anak menggunakan bahasa krama inggil yang lembut, maka jiwanya pun lembut. Bahasa-bahasa inggil mampu meredam gejolak nafsu. Bahasa Jawa memang punya tingkatan. Ada bahasa ngoko, bahasa krama, dan krama inggil. Gradasi ini sebetulnya bukan bersifat fisik, tapi spiritual. Orang yang secara spiritual tinggi, maka bahasanya pun tingkat tinggi. Bahasa krama inggil.
Lalu, bagaimana bahasa Indonesia yang egaliter? Ini susahnya karena bahasa Indonesia tak mengenal tingkatan. Tapi orang bisa memilih memakai bahasa Indonesia yang halus atau yang kasar dalam susunan kata-katanya. Dan ingat, bila orang menggunakan kata-kata halus, maka tutur bahasanya pun otomatis halus. Begitu pula orang yang mendengarnya. Itulah hukum alamnya.
“Diam bacot lu. Tutup mulutmu.” Dua contoh kalimat ini jelas kasar sehingga kalau diucapkan untuk “komunikasi” bisa menimbulkan masalah. Orang bijak bisa memilih kalimat yang lebih baik. Misal dengan mengganti kalimat, lebih baik kita diam atau lebih afdol tidak bicara. Anda mungkin bisa mencari padanan kalimat yang lebih baik. Saya kira setiap bahasa mempunyai kata dengan padanan-padanannya yang sangat banyak. Tinggal memilih mana kata yang bagus untuk diucapkan agar tidak menyakiti orang.
Dalam Al-Qur’an misalnya, Musa diperintahkan Allah untuk berbicara yang lembut kepada Fir’aun, meski Fir’aun ini musuh Musa. Tujuannya jelas, agar Fir’aun yang budi bahasanya kasar itu berubah jadi lembut. Bila ini terjadi, ada harapan Fir’aun menyadari kesalahannya. “Pergilah kamu berdua kepada Firaun, sesungguhnya dia telah malampaui batas; maka berbicalah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut mudah-mudahan ia ingat atau takut” (QS Thaha: 43-44).
Bayangkan, Allah menyuruh Musa untuk berbicara lembut kepada Fir’aun, musuhNya. Itu berarti Allah menyuruh manusia berbahasa dengan kata-kata pilihan yang lembut dan halus. Tidak peduli antara rakyat dan rakyat, rakyat dan raja, atau raja dan rakyat. Dengan berbahasa halus, maka budi pekerti juga akan halus. Kebudayaan yang tumbuh pun makin tertata baik.
Dari gambaran di atas, sekolah-sekolah hendaknya mengajarkan anak murid untuk berbicara halus, baik dalam sekolah maupun luar sekolah. Jika berbahasa halus ini sudah jadi tradisi, maka kehidupan pun akan makin aman, sentausa, dan sejahtera. Kapan mulai? Ya, dari diri kita sendiri, lalu keluarga, sekolah, kemudian bangsa. Mudah-mudahan. (sz)