Apa salahnya Ferdi Haryadi (21) hingga dibunuh ayahnya sendiri? Taka ada, kecuali ia adalah penyandang autis! Ketika lahir ke dunia, Ferdi tentu saja tak menghendaki dirinya mengidap autis. Bahkan, siapa pun – anak, orang tua, saudara-saudara kita – tak ingin menjadi anak autis.
Tapi nasib buruk tampaknya menimpa Ferdi. Ayahnya malu mempunyai anak autis seperti dirinya. Masriya, bapaknya Ferdi, selalu kesal dengan tingkah laku Ferdi yang aneh dan memalukan. Karena selalu menanggung malu, Masriya pun membunuh anak lelakinya itu. Pria asal Desa Cinangka, Serang ini, terus terang mengakui perbuatannya, membunuh Ferdi, kepada polisi (7/10/2015). Alasannya sederhana: malu. “Ya, dia malu punya anak autis seperti Ferdi,” kata polisi.
Masriya sebetulnya tak perlu malu punya anak autis. Malah sebaliknya, dia harus bangga karena Allah masih memberinya ujian. Itu artinya Allah masih punya perhatian kepadanya. Mempunyai anak autis itu ibaratnya ladang amal bagi Masriya. Ini karena tiap hari, secara rutin, dia harus melakukan kewajibannya mendidik anaknya yang autis tadi. Bila Ferdi berhasil menjadi “orang” niscaya nama Masriya terangkat. Tapi di sini tidak. Alih-alih memberinya cinta tulus untuk anaknya, Ferdi malah dibunuh. Betapa tidak adilnya dunia ini.
Apa itu autis? Autis adalah kelainan perkembangan saraf pada seorang sejak lahir. Penyebabnya, mayoritas faktor keturunan. Tapi ada juga karena faktor makanan dan minuman orang tuanya saat mengandung sang anak. Bayi autis umumnya kelihatan normal. Bahkan sampai umur dua tahun belum kelihatan gejalanya. Itulah sebabnya, banyak orang tua terlambat menyadari kondisi anaknya yang autis. Baru setelah diperhatikan seksama cara gerakan dan tanggapannya pada suatu masalah yang berbeda dari anak-anak normal, orang tua menyadari anaknya mengidap autis. Perilakunya aneh, bicaranya sering mengulang-ulang kata, sifatnya kadang sangat agresif kadang sangat pasif, sulit bergaul, berkomunikasi, dan lain-lain.
Orang tua yang mempunyai anak autis memang harus punya perhatian lebih terhadap buah hatinya itu. Tapi tak usah malu, apalagi minder. Karena orang tua yang punya anak autis itu banyak. Di Indonesia, pada tahun 2013 diperkirakan terdapat lebih dari 112.000 anak yang menderita autisme dalam usia 5-19 tahun. Sedangkan prevalensi penyandang autisme di seluruh dunia menurut data UNESCO pada tahun 2011 adalah 6 di antara 1000 orang.
Sekarang sudah zaman modern. Anak-anak autis pun bisa disembuhkan. Psikiater dan pemerhati autisme, dr Kresno Mulyadi, Sp.KJ menyatakan autis dapat disembuhkan melalui terapi intensif nan terpadu, dan diet khusus bagi penyandangnya.
“Jika ada yang berpendapat autisme sudah baku dan tidak ada lagi harapan itu paradigma lama. Berdasarkan temuan terbaru gangguan Autis dapat disembuhkan melalui terapi dini secara intensif dan terpadu”, kata Kresno pada Seminar Autism is Curable (autisme bisa sembuh) beberapa waktu lalu di Padang. Ia menerangkan terapi yang dapat dilakukan meliputi terapi perilaku di antaranya menggunakan metode yang dikembangkan Ivar Lovaas dari UCLA yaitu konsep Aplied behavior Analysis (ABA). Terapi ABA dilakukan intensif selama 40 jam per minggu dalam dua tahun. Berdasar hasil penelitian, terjadi peningkatan IQ yang besar pada penyandangnya. Kemudian, penyandang autis harus melakukan diet yang ketat (tidak mengkonsumsi terigu, coklat dan susu karena berdasarkan kajian terapi biomedik, jenis makanan ini memperparah kondisinya).
Mengobati dan mendidik anak-anak autis memang biayanya mahal. Karena itu akan jadi masalah besar bagi orang miskin jika punya anak autis. Tapi jangan khawatir. Sekarang sudah ada beberapa lembaga yang mau memberikan pengobatan dan pendidikan gratis kepada anak-anak autis, khususnya bagi keluarga miskin. Salah satunya adalah Yayasan Amal Khair Yasmin. Di pusat terapi Yasmin ini, orang tua, khususnya dari keluarga tak mampu, yang memiliki anak dengan gangguan autis bisa “menitipkan” anaknya untuk diobati dan dididik tanpa harus memikirkan biaya. Semuanya gratis. Pusat terapi autis untuk dhuafa ini sudah berjalan sejak bulan Januari 2006. Saat ini Pusat Terapi Yasmin memiliki 32 siswa autis. Pengelolanya ada 7 orang, terdiri dari pengajar, terapis perilaku, terapis wicara, dan lain-lain.
Kembali pada cerita di atas. Seandainya Masriya tahu anaknya, Ferdi, mengidap autis, ia tak perlu membunuhnya karena malu dan jengkel. Sekarang sudah ada yayasan yang mau menyembuhkan dan mendidik penderita autis secara gratis. Bahkan, bila dididik serius, anak autis pun bisa mandiri dan hidup layaknya orang normal. (sz)