Sekali-kali kita lihat sistem pendidikan di negara lain untuk bahan perbandingan. Kita pilih Finlandia. Negeri di Skandinavia ini terkenal karena sistem pendidikannya terbaik di dunia. PBB mengakui Finlandia menerapkan metode pendidikan yang terbaik di dunia. Sekolah di negeri Nokia ini menyenangkan, gratis, punya pilihan bebas, tidak menekan, dan kualitasnya unggul. Programme for International Student Assessment (PISA) tahun 2000 yang menyurvai kemampuan baca tulis, matematika, dan sains terhadap pelajar tingkat SMP atau kelas kelas 9 yang berusia sekitar 15 tahun di berbagai negara maju — Eropa, Amerika, dan Asia – menemukan hasil: siswa-siswa Finlandia berada di peringkat satu. Survei yang dilakukan tiap 3 tahun oleh Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) juga menempatkan pelajar Finlandia di posisi teratas. Sementara itu survei global mengenai kualitas hidup oleh Newsweek, Finlandia ditasbihkan sebagai negara dengan kualitas hidup nomor satu di dunia. Prestasi-prestasi itu jelas berkaitan dengan sistem pendidikannya. Pasi Sahlberg, Direktur Mobilitas Internasional, Departemen Pendidikan Nasional Finlandia telah menulis buku tentang kesuksesan sistem pendidikan Finlandia yang berjudul Finnish Lessons: What Can the World Learn from Educational Change in Finland? Berikut karakteristik sistem pendidikan Finlandia yang hebat itu. Pertama, sekolah gratis, semua tanggungjawab negara. Mulai TK sampai perguruan tinggi, hampir semuanya negeri. Ada sedikit sekolah swasta, tapi tetap dibiayai negara. Uniknya, tak banyak pilihan sekolah di sana karena kualitasnya di mana-mana hampir sama. Sistem pendidikan di Negeri Nokia itu tidak mengejar keunggulan (excellence), tapi kesetaraan (equity). Setiap anak memiliki kesempatan yang sama untuk belajar, tanpa melihat latar belakang keluarga, pendapatan, atau lokasi geografis. Pendidikan utamanya bukanlah cara untuk menghasilkan individu yang cerdas, tetapi sebagai alat untuk meratakan kesenjangan sosial. Keunggulan akademis bukanlah prioritas khusus bagi Finlandia, tetapi Finlandia berhasil menciptakan keunggulan akademik melalui fokus kebijakan pada kesetaraan. Kedua, lingkungan sekolah sehat dan dapat makan gratis yang bergizi. Sekolah menyediakan konsultasi kesehatan, psikologi, konseling, bimbingan individual, dan perawatan gratis bila ada gangguan penyakit. Jadi, pelayanan sekolah terhadap siswa menyeluruh. Hasilnya orang tua senang, siswa pun betah di sekolah. Ketiga, tidak ada kompetisi di sekolah. Sistem pendidikan Finlandia juga tidak mengenal istilah kompetisi dan sistem peringkat. Tidak ada daftar sekolah terbaik atau guru terbaik. Pendorong utama dari kebijakan pendidikan bukanlah persaingan antarguru dan antarsekolah, tapi kerjasama. Siswa penyandang cacat, misalnya, diletakkan pada kelas yang sama dengan siswa umum lainnya. Mereka tidak mengukur prestasi hanya untuk memberi label pada siswa. Finlandia memandang kompetisi dalam lingkungan pendidikan merupakan konsep yang destruktif. Mental anak bisa hancur oleh evaluasi terus-menerus. Akibatnya anak-anak kurang percaya diri dengan kemampuannya. Ketika anak-anak menyukai dan menonjol dengan apa yang dilakukannya, sekolah memberikan kesempatan seluas-luasnya untuk mengembangkan diri. Tak ada standar baku untuk menilai kualitas anak-anak. Semua anak-anak pandai. Sekolah menghargai talenta anak-anak. Tujuan pendidikan adalah membentuk anak menjadi manusia yang lebih baik yang menghargai diri sendiri dan mampu bersosialisasi dalam kehidupan tanpa merasa lebih baik (hebat) atau lebih buruk dari orang lain (minder). Keempat, tidak ada ujian standar. Yang ada matrikulasi nasional. Negara yang menerapkan kapitalisme pada sistem pendidikannya selalu terobsesi pertanyaan berikut: Bagaimana cara memantau kinerja siswa jika tidak diuji secara konstan? Bagaimana bisa meningkatkan pengajaran jika tidak ada pertanggungjawaban ke guru yang ‘payah’ atau tidak memberikan penghargaan pada guru yang baik? Bagaimana cara menciptakan kompetisi dan melibatkan sektor swasta? Bagaimana cara menciptakan variasi pilihan sekolah kepada orang tua atau pelajar? Jawaban dari Finlandia tampaknya bertentangan dengan mindset semacam itu. Finlandia tidak memiliki ujian nasional pada tiap jenjang pendidikan. Yang ada hanyalah Ujian Matrikulasi Nasional yang diambil pada jenjang sekolah menengah atas yang bersifat sukarela. Wajib belajar di Finlandia sendiri antara usia 7-16 tahun. SD 6 tahun dan SMP 3 tahun. Setelah lulus SMP, siswa memiliki pilihan boleh langsung masuk dunia kerja atau masuk sekolah persiapan profesi atau gimnasium (setingkat sekolah menengah atas). Lulusan sekolah menengah atas ini nantinya bisa lanjut lagi ke politeknik ataupun universitas. Pada intinya, tidak ada UN SD dan SMP. Kelima, kurikulum pendidikan fleksibel. Sekolah di Finlandia tidak menerapkan kurikulum seragam. Juga tak ada kurikulum yang baku. Kementerian Pendidikan hanya memberikan “kurikulum dasar” yang fleksibel, semacam panduan umum mengenai mata pelajaran apa yang harus diajarkan dan tujuan yang harus dicapai di setiap tingkat kelas. Kurikulum Dasar ini berlaku sebagai dasar untuk setiap sekolah saat mereka mempersiapkan kurikulum sendiri, di mana mereka dapat berkreasi menekankan pada pedagogi tertentu, nilai tertentu (misalnya, sekolah hijau), keterampilan (seni, olahraga, bahasa), atau isu-isu lokal (misalnya, sekolah multikultural). Para siswa di Finlandia sangat menikmati belajar, selalu rindu sekolah, tidak rela tidak sekolah hanya karena libur ekstra atau sakit. Sekolah-sekolah di Finlandia sangat sedikit memberikan PR (tidak lebih dari 1/2 jam waktu pengerjaan) dan lebih banyak melibatkan siswanya dalam aktivitas yang lebih kreatif. Keenam, guru punya tanggungjawab besar. Guru-guru di sekolah negeri Finlandia mendapatkan pelatihan khusus untuk dapat menilai siswa satu kelas menggunakan tes independen yang mereka ciptakan sendiri. Setiap anak mendapatkan kartu rapor tiap akhir semester, tapi rapor ini berdasarkan penilaian individu oleh tiap guru. Secara berkala, Menteri Pendidikan memantau kemajuan nasional dengan menguji beberapa sampel kelompok dari sekolah yang berbeda. Sistem ini memungkinkan dihasilkannya penilaian yang sangat spesifik pada kemampuan tiap individu anak. Dalam kaitan ini guru harus kreatif dalam memberikan penilaian kepada anak. Dari gambaran tersebut, sekolah di Finlandia sudah menerapkan konsep pendidikan multiple intelligence (MI). Di Indonesia, ada beberapa sekolah, umumnya swasta, yang sudah menerapkan konsep seperti itu. Beberapa sekolah di bawah Yayasan Amal Khair Yasmin telah menerapkan konsep MI tersebut. Yasmin secara berkala juga menyelenggarakan workshop untuk memperkenalkan konsep MI kepada guru-guru sekolah di seluruh Indonesia. Tak hanya itu, Yasmin juga memperkenalkan konsep pendidikan terbaru kepada peserta workshop. (SS)