Amal Khair Yasmin

Haidar Bagir: “SPEECHLESS” 

Selama tahun-tahun belakangan ini, kata “speechless” banyak dipakai di sela-sela percakapan dalam bahasa Indonesia. Tapi terkesan penggunaannya lebih menjadi sebuah mode (fashionable). Kalau tidak untuk basa-basi yang memperindah ungkapan, biasanya kata ini dipakai untuk mengungkapkan pujian. Dan, tentu, ungkapan ini banyak dipakai di kalangan menengah-atas atau anak-anak muda yang fashionable pula… 

Hanya kata-kata itu yang hari-hari ini melintas terus di kepala saya melihat fenomena pembantaian manusia di Gaza oleh para pembunuh berdarah dingin Zionis Israel.

Kita tak usah lagi bicara tentang penyerbuan Hamas ke Israel yang dilakukan dalam hitungan beberapa jam dan, katakan membunuh 1000 orang. Diskusi, bahkan perdebatan, tentang legitimasi tindakan ini sudah panjang dilakukan. Dan, bahkan para pengutuk tindakan  Hamas ini sekalipun, akan kehabisan kata-kata untuk bisa melegitimasi penghancuran dan pembantaian yang dilakukan Israel selama lebih dari satu tahun tanpa henti ini. Pembantaian ini telah memakan nyawa lebih dari 50 ribu orang, yang lebih dari separuhnya anak-anak. Dan ini termasuk orang-orang yang dibuat cacat, anak-anak yang dibuat yatim-piatu, serta perataan dengan tanah berbagai fasilitas vital – termasuk rumah sakit, gudang obat-obatan, penyediaan air bersih, makanan, dll – yang ketiadaannya dapat membunuh lebih banyak orang.

Dan ini bukan hanya dilakukan secara terang-terangan, di depan mata dunia, tanpa upaya pencegahan berarti – termasuk oleh negara-negara Muslim dan negara penentang penindasan – bahkan kejahatan kemanusiaan terbesar ini didukung negara-negara terkuat yang mendaku sebagai pilar peradaban dunia.

Untuk menggambarkan betapa besarnya horor kita melihat kebiadaban ini, kata “speechless” mungkin adalah satu-satunya kata yang bisa diungkapkan, meski kata sesungguhnya hanya berarti tak ada kata apa pun yang bisa diungkapkan.

Bagi sebagian orang, tragedi besar ini bisa memaksa untuk bertanya, dimana Tuhan? Tapi, sebelum itu, kita harus terlebih dulu bertanya, di mana manusia? Manusia yang, konon, bergelar khalifah (wakil) Tuhan itu?. Pertama, yang kita lihat segera dalam pagelaran kekejaman ini adalah manusia-manusia yang, alih-alih menjadi khalifah Tuhan, adalah manusia-manusia yang lebih sadis dari binatang buas. Jauh lebih sadis. Bahkan, binatang buas pun merupakan pembanding yang terlalu baik bagi jenis manusia-manusia seperti para pembunuh ini.

Kedua, kalau memang benar manusia memiliki potensi untuk menjadi khalifah Tuhan, apakah potensi ini benar-benar bisa teraktualkan? Kalau jawabannya bisa, di manakah manusia-manusia ini? Dalam sejarah, kalau pun ada, jumlah manusia seperti ini terlalu sedikit.

Sehingga, yang lebih mungkin adalah yakin bahwa pada dasarnya manusia itu memang jahat dan buas…

Selanjutnya, seperti Ivan dalam The Brothers Karamazov karya Fyodor Dostoyevsky, orang dipaksa bertanya, di mana Tuhan, di tengah kebiasaan manusia atas manusia ini? Kenapa dia membenarkan semua ini terjadi? Toh, sudah cukup terbukti bahwa manusia gagal total dalam menghentikan kekejaman dan kebrutalan ini? 

Ya. Karena kekejaman tidak terperikan peperangan ini, dan kenyataan ketakberdayaan manusia, orang harus bertanya, di mana Tuhan? Suatu hal yang nyaris tak terelakkan. Persis seperti banyak ahli mengasosiasikan gejala meluasnya ketidakbertuhanan orang-orang Eropa kepada gejala kekejaman PD I dan II yang melanda negara-negara di  wilayah ini, yang seperti tak terbendung. Tidak oleh manusia, bahkan (seolah) tidak juga oleh Tuhan.

Alhasil… Pembantaian manusia, termasuk anak-anak, tak berdosa di depan mata dunia, dengan kekejaman yang tak terbayangkan, bahkan oleh imajinasi kita yang paling liar sekalipun, bukan hanya melenyapkan nyawa orang, tapi bisa juga melenyapkan keyakinan orang pada kemanusiaan dan keberadaan Tuhan.

Maka, setiap manusia yang masih memiliki keyakinan kepada kemanusiaan manusia dan keruhaniahannya, serta keimanan kepada keberadaan Tuhan, tak boleh tinggal diam. Karena sesungguhnya yang dibunuh adalah (ke-)manusia(-an) secara keseluruhan. Dan di atas segalanya, kediaman kita sesungguhnya secara pelan-pelan telah membunuh Tuhan. Membunuh keimanan orang akan kemahakuasaan dan kewelasasihan-Nya. Padahal, apa lagi daya tarik keberadaan Tuhan kalau bukan bahwa dia Mahakuasa dan Mahawelasasih?

Mari kita lakukan apa saja yang kita bisa, sesedikit atau sebanyak apa pun, untuk menjadi pembela Tuhan. Bukan dengan mengafirkan manusia, atau memusuhinya, atau bahkan membunuhinya, melainkan justru dengan membela manusia-manusia tertindas, siapa saja, di mana saja, dan kapan saja. Sejauh-jauh kemampuan kita. 

BI ‘awni-Hi Ta’ aalaa…