Banyak orang tua salah kaprah: senang jika anak- anak usia dininya belajar serius membaca, menulis, dan berhitung (calistung). Harapannya, sedini mungkin sang anak bisa calistung. Bila anak usia dini itu bisa calistung, kesimpulannya, dia anak cerdas. Bila anak itu cerdas, maka bisa masuk SD favorit. Maklum, sat ini banyak SD favorit memberikan sarat tertentu untuk siswa barunya. Saratnya antara lain: bisa calistung dan mau belajar serius. Tidak nakal dan tertib dalam belajar. Persaratan inilah yang membuat orang tua memaksa anaknya untuk ikut kursus berbagai macam pelajaran sebelum masuk SD. Bahkan ketika sudah kelas 4, tak sedikit orang tua masih memaksa anaknya untuk belajar macam-macam pelajaran. Tujuannya agar anaknya pandai dan terus dapat ranking di kelasnya. Fenomena anak Paud belajar calistung ini marak di mana-mana. Orang tua bangga sekali jika anaknya yang berusia empat atau lima tahun sudah bisa calistung. Dia nggak suka bila anaknya senang main dan lari ke sana kemari kejar-kejaran dengan teman-temannya. Maunya orang tua, anak-anak sedini mungkin bisa belajar macam-macam seperti orang dewasa. Orang tua menganggap, anak-anak adalah orang dewasa mini.
Hati-hati, anak bukan orang dewasa mini. Anak ya anak. Mereka punya dunia sendiri. Dunianya adalah bermain. Bermain adalah cara belajar yang tepat untuk anak usia dini. Jika dipaksakan belajar calistung, misalnya, anak-anak bisa stress. Akibatnya, boro-boro jadi anak pinter, malah jadi anak stress. Tak mau belajar dan akhirnya takut sekolah. Ingat, orang terpinter sejagad Albert Einstein, baru bisa calistung setelah usia 10 tahun!
Di negara-negara maju, seperti Amerika, Inggris, dan Finlandia, belajar anak-anak di PAUD dan TK, ya bermain. Jika pun dikenalkan pada mata pelajaran, suasanya ya bermain. Bahkan sampai anak usia SD kelas 2, pelajaran “bermain” masih dominan. Selanjutnya, di usia kelas tiga sampai kelas enam SD pun, pelajaran dibuat semenyenangkan mungkin. Anak-anak pun senang belajar di sekolah. Karena pelajarannya dibuat menyenangkan, anak-anak pun suka terhadap mata pelajaran yang sesuai dengan minatnya.
Calistung bukanlah materi yang mudah dipelajari anak-anak. Calistung terlalu abstrak sehingga belum bisa dicerna anak-anak usia dini dengan mudah. Jika dipaksakan anak-anak bisa stres dan tak mau sekolah. Dampak lanjutannya, anak-anak menjadi tidak suka dengan pelajaran calistung. Bagaimana kalau dikursuskan? Apalagi. Anak-anak makin stres. Anehnya saat ini banyak lembaga kursus calistung untuk anak-anak usia dini. Sudah bosan dengan sekolah yang mengajari calistung, orang tuanya menyurus kursus calistung lagi. Kasihan anak-anak. Makin stress.
Jadi bagaimana cara mendidik anak-anak usia dini? Rousseau menyarankan konsep pendidikan “kembali ke alam” dan pendekatan yang bersifat alamiah dalam pendidikan anak. Bagi Rousseau pendekatan alamiah berarti anak akan berkembang secara optimal, tanpa hambatan. Menurutnya pula bahwa pendidikan yang bersifat alamiah menghasilkan dan memacu berkembangnya kualitas semacam kebahagiaan, spontanitas dan rasa ingin tahu. Rousseau percaya bahwa walaupun kita telah melakukan kontrol terhadap pendidikan yang diperoleh dari pengalaman sosial dan melalui indera, tetapi kita tetap tidak dapat mengontrol pertumbuhan yang sifatnya alami. Untuk mengetahui kebutuhan anak, guru harus mempelajari ilmu yang berkaitan dengan anak-anak. Tujuannnya adalah agar guru dapat memberikan pelajaran yang sesuai dengan minat anak. Jadi yang menjadi titik pangkal adalah anak – bukan kemauan orang dewasa atau orang tuanya. Tentu saja yang dimaksud konsep pendidikan kembali ke alam adalah pendidikan yang memperhatikan perkembangan psikologi anak.
Bagimana Islam? Islam sangat memperhatikan pendidikan usia dini. Orang tua adalah penanggungjawab utama pendidikan tersebut. Hitam putihnya karakter anak sangat tergantung dari pendidikan orang tuanya. Dalam Qur’an ada kisah Lukman dalam mendidik anaknya tentang tauhid. Sejarah Nabi juga sarat dengan pendidikan anak-anak. Dari semua itu, intinya adalah pendidikan anak harus menuju kepada pembentukan akhlak mulia, pembentukan tanggungjawab kemanusiaan, dan tanggungjawab pada lingkungan. Tentu saja pendekatannya disesuaikan dengan perkembangan psikologi anak.