ANAK YATIM BUTUH KASIH SAYANG DAN PENDIDIKAN BERKUALITAS
Ledakan anak yatim? Benar! Zaman modern adalah zaman ketika jumlah anak yatim meledak, saking banyaknya. Kita bisa melihatnya di mana-mana. Bukan hanya di panti asuhan, tapi juga di jalanan, bawah jembatan, pasar, pinggir kali, pinggir rel kereta api, dan tempat-tempat kumuh lain. Jumlahnya tiap tahun terus membengkak. Kita umat Islam dan pemerintah belum sunggup mengatasinya.
Yatim, tulis Prof. Dr. M. Quraish Shihab, dalam bahasa Arab artinya “kesendirian”. Dalam bahasa Inggris, loneliness. Jika menilik arti loneliness, maka predikat yatim ini sangat kompleks. Wikipedia menulis loneliness is a complex and usually unpleasant emotional response to isolation or lack of companionship. Loneliness typically includes anxious feelings about a lack of connectedness or communality with other beings, both in the present and extending into the future. As such, loneliness can be felt even when surrounded by other people. The causes of loneliness are varied and include social, mental or emotional factors. Research has shown that loneliness is widely prevalent throughout society among people in marriages, relationships, families, veterans and successful careers. It has been a long explored theme in the literature of human beings since classical antiquity. Loneliness has also been described as social pain — a psychological mechanism meant to alert an individual of isolation and motivate him/her to seek social connections. Paparan makna kata yatim dalam Qur’an dan loneliness dalam Wikipedia ternyata sama-sama kompleks. Quraish Shihab menyatakan penekanan kata yatim adalah butuh perlindungan. Sementara loneliness adalah kesendirian akibat problem psikologis, keluarga, relasi, sosial, ekonomi, dan lingkungan kehidupannya. Kesimpulannya sama: anak yatim butuh perlindungan, butuh pendidikan, butuh bimbingan, dan butuh lingkungan.
Dari bahasan di atas, maka kriteria anak yatim luas sekali. Siapa pun anaknya jika hidupnya tak mendapat perlindungan dan pendidikan, misalnya, maka dia adalah yatim. Tak tergantung apakah dia hanya punya ayah, hanya punya ibu, atau punya kedua orang tua. Jika hidupnya terlantar, tulis Quraish Shihab, maka dia adalah yatim. Perhatian Al-Qur’an terhadap anak yatim ini besar sekali, sampai-sampai Allah menyatakan bahwa orang-orang yang menghardik anak yatim adalah pendusta agama.
Dr Muhammad Shahrour, seorang pemikir Muslim asal Damaskus, Syiria, menyatakan, ayat tentang poligami sebetulnya merupakan jangkar untuk kehidupan anak yatim. Seorang muslim, tulis Shahrour, hanya boleh poligami jika dasarnya adalah kepedulian terhadap anak yatim. Bukan persoalan nafsu syahwat. Ayatnya jelas dalam Surat An-Nisa ayat 3, “Jika takut tidak bisa berbuat adil terhadap anak yatim, maka nikahilah perempuan yang kau sukai, dua, tiga atau empat. Menurut Shahrour, penekanan ayat poligami itu bukan kepada pernikahannya, tapi pada anak yatimnya. Ayat ini seperti halnya Surat Al-Ma’un, menunjukkan bahwa Allah sangat peduli terhadap kehidupan anak yatim.
Paparan di atas telah menyebutkan kriteria yatim itu amat kompleks. Ketersendirian hidup bukan hanya karena ketiadaan ibu bapak, tapi juga karena kekurangan ekonomi, keretakan keluarga, keterasingan psikologis, ketercerabutan akar sosial, dan kelangkaan pendidikan. Dengan demikian, apa yang disebut yatim sebetulnya penyakit sosial di sekitar kita. Jika itu masalahnya, setiap orang bisa memberikan sumbangsih untuk mengatasi problem anak yatim. Tergantung dari kemampuan kita pada sisi mana bisa berpartisipasi mengatasi fenomena ledakan yatim itu!
Melihat kompleksnya kriteria yatim tersebut, maka penanganannya pun tidak sesederhana seperti yang ada sekarang. Misal Rumah Yatim. Di rumah yatim, mungkin persoalan kebutuhan dasar hidup seperti sandang pangan dan pendidikan tercukupi. Tapi bagaimana persoalan psikologisnya? Juga persoalan sosiologisnya? Sebagai contoh, yatim karena keretakan keluarga (ayah dan ibunya bercerai), misalnya, penanganannya jelas berbeda dengan yatim karena tekanan ekonomi. Perlakuan terhadap kedua jenis yatim ini jelas berbeda. Kita umat Islam perlu memikirkannya secara komprehensif. Ini karena yatim itu kompleks. Ada yatim orang tua, yatim ekonomi (miskin), yatim psikologis (stres dan depresi), yatim kejiwaan (skizofrenia), yatim pendidikan (putus sekolah), yatim sosiologis (kurang pergaulan), dan lain-lain.
Anak yatim – jika melihat kriterianya yang kompleks itu – membutuhkan perlindungan yang menyeluruh dan strategis. Idealnya, perlindungan itu menyerupai perlindungan orang tua terhadap anaknya. Tapi apa bisa? Untuk itu, kata Mujtahidin, aktivis pendikan kaum dhuafa, perlu dibangun komunitas peduli anak yatim, mulai tingkat RT sampai Pusat. Komunitas ini harus benar-benar memahami kebutuhan anak yatim satu persatu sehingga penanganannya bersifat spesifik. Apakah keterlibatan komunitas ini dalam bentuk menjadi orang tua asuh yang bertanggungjawab, atau mengkoordinir pendidikan, pengasuhan dan perlindungan anak yatim, semuanya tergantung kondisi keyatimannya. Tiap-tiap komunitas peduli yatim mempunyai konsep dan pedoman kerja yang spesifik, tergantung wilayahnya. Sebab masalah anak yatim di wilayah kumuh berbeda dengan anak yatim di wilayah elit. Karena itu penanganannya berbeda! Neale Donald Walsch menyatakan, setiap anak butuh bimbingan orang dewasa. Dan orang dewasa, dalam kriteria Walsch, adalah orang berusia di atas 50 tahun.
Sebelum usia tersebut, ungkap Walsch, manusia secara psikologis belum matang. Karena itu, tulis Walsch, jika ada komunitas orang tua peduli anak, maka kriteria umurnya di atas 50. Anak-anak dalam naungan dan bimbingan orang tua di atas 50, akan merasa lebih aman dan sejuk. Meski demikian tak tertutup kemungkinan orang-orang di bawah usia 50 juga jiwanya sudah matang dan dewasa. Tapi satu hal jelas: dalam pengasuhan anak yatim butuh kematangan jiwa. Butuh kedewasaan pikir. Quraish Shihab menyatatakan, Islam menganjurkan, pengasuhan jiwa anak yatim harus lebih prioritas. Kenapa? Jika jiwa seseorang sudah baik, maka kebaikan yang lain akan mengikutinya.
Lalu, bagaimana mendidik jiwa yang benar? Melalui pendidikan agama, iman, dan akhlak. Menyeluruh. Sebab anak yatim tak hanya butuh nasi, tapi juga butuh sabda ilahi.(ss)