Amal Khair Yasmin

Melawan Obsesi Kepada Harta

Ibrahim ibn Ad-ham, seorang Sufi, dulunya menjadi khalifah di Balkh, tetapi kemudian ia tinggalkan.

Suatu saat, ia berjumpa dengan seorang lelaki yang ingin memberinya sedikit uang. Ibrahim ibn Ad-ham berkata,

“Jika kau kaya, aku akan menerima pemberianmu, tetapi aku tidak akan mau menerima jika kau ternyata miskin.”
Lelaki tadi mencoba meyakinkan bahwa ia sangat kaya.“Berapa banyak uang yang kau punya?”
“Aku punya 5 ribu keping emas.”
“Apakah kau ingin punya 10 ribu keeping emas?”
“Ya, tentu saja.”
“Apakah kau akan lebih senang jika punya 20 ribu keping emas?”
“Ya, itu tentu lebih baik.”
“Kalau begitu, kau sama sekali tidak kaya! Kau lebih membutuhkan uang ini daripada aku. Aku puas dengan apa pun pemberian-Nya. Tidak mungkin aku menerima apa pun dari orang yang selalu mengharap lebih banyak.”

****

Belakangan ini, kita merasakan betapa hidup kita terobsesi oleh uang dan harta benda. Betapa nafsu materialistik mendorong kita untuk terus mengejar benda-benda, dengan harus membayar mahal dalam bentuk hilangnya kesadaran kemanusiaan kita, kaburnya pemahaman tentang tujuan hidup dan penciptaan kita, serta kacaunya perspektif kita mengenai cara-cara meraih kebahagian hidup kita.

Akibatnya, banyak diantara kita manusia-manusia modern, khususnya yang tinggal di kota- kota besar tidak lagi hidup sebagai manusia, tetapi lebih tepat disebut sebagai “zombie”. Zombie adalah manusia yang sebetulnya sudah mati, tetapi dapat bergerak ke segala penjuru, namun tanpa kesadaran. Kita jungkir-balik mengejar uang, untuk membeli benda-benda, bergegas pergi ke sana kemari, lupa waktu, lupa keluarga dan manusia lainnya, akibat kehilangan perspektif tentang tujuan kita mengejarnya. Padahal kita tahu, esensi kemanusiaan sejatinya tidak terletak pada gerakan fisik, tetapi ada pada ruh kita, pada kesadaran kita. Kesadaran bahwa kita diciptakan Allah Swt. di muka bumi ini bukan sia-sia, melainkan untuk tujuan yang serius; beribadah kepada-Nya sebaik mungkin. Yakni, menjalin silahturahmi- hubungan penuh kasih sayang- beramal saleh kepada orang lain sebanyak-banyaknya, dan menjadikan kehidupan di lingkungan sekitar lebih baik.

Sayangnya, yang terjadi adalah sebaliknya. Lewat berbagai media yang menembus seluruh sudut kehidupan kita, kita diiming-imingi dengan kebutuhan-kebutuhan artfisial. Yakni “kebutuhan” yang sebenarnya tak memiliki fungsi untuk dijadikan hidup kita klebih bahagia. Dahulu, sebelum datang dan berkuasanya modernisme dan era industri, orang bekerja untuk tujuan yang jelas; meraih kesejahteraan. Dalam konteks ini, benda dan uang dipahami sebagai sarana, bukan tujuan itu sendiri. Dengan cara itu, sesungguhnya, pada masa-masa terdahulu manusia lebih hidup “sebagai manusia”. Meski ilmu pengetahuan dan teknologi telah berkembang luar biasa pesat di masa-masa sekarang ini, manusia masa lampau tampak lebih terampil dalam mengatur hidupnya, menjaga perspektifnya dalam bekerja dan berusaha. Dengan kata lain, mereka lebih terampil dalam berupaya mencapai kebahagiaan ketimbang manusia-manusia sekarang. Sekarang, banyak diantara kita yang justru mengorbankan kebahagiaan demi mengejar uang. Tidak jelas lagi perbedaan antara “ tujuan” dan “sarana” hidup. Sebagai bukti, tak jarang kita melihat seseorang justru mengalami kehampaan makna hidup setelah mendapatkan uang yang dikejarnya. Ternyata uang yang berlimpah tidak memberikan kebahagiaan dan makna hidup.

Nah, pertanyaannya sekarang, bagaimana memaknai uang dengan tepat?

Pertama, agama tidak anti kepada orang yang mencari uang, tidak anti pula pada upaya-upaya mencari karunia Alah Swt. Seperti disebutkan sebelumnya, dalam Al-Qur’an disebutkan, Carilah kebahagiaan hidup di akhirat itu dengan apa-apa yang dikaruniakan Tuhan kepadamu dan jangan lupakan porsimu dari kehidupan dunia (QS Al-Qashash [28]: 77). Yang terpenting, kita senantiasa dapat memelihara agar tetap memiliki perspektif yang benar sehubungan dengan kepemilikan uang atau harta. Bahwa uang, sekali lagi, adalah sarana bukan tujuan hidup itu sendiri. Dengan perspektif yang lurus seperti ini, tak ada orang yang mau mengorbankan kebahagiaannya, tujuan hidupnya, demi mengejar uang. Uang harus dijadikan pelayan bagi upaya mendapatkan kebahagiaan hidup.

Kedua, kita juga perlu meluruskan prioritas, bahwa tugas hidup adalah beribadah kepada-Nya, dengan jalan menebarkan rahmat bagi alam semesta. Bahkan, sesungguhnya kebahagiaan kita terletak di sini. Manusia telah diciptakan Allah dengan fitrah mencinta. Kebahagiaan dan kepuasaan hidup tak akan pernah bisa diraihnya jika ia tidak mencinta dan mengungkapkan fitrah kecintaannya itu dengan berbuat baik pada orang lain. Uang atau harta benda yang kita miliki hanyalah sarana pendukung untuk kita menyelenggarakan upaya-upaya seperti ini.

Ketiga, kita perlu membangun dan memelihara kesadaran bahwa kebahagiaan dunia dan akhirat tidak terletak pada banyaknya uang dan harta benda, melainkan pada bagaimana kita memandang fungsi dan cara menggunakannya. Yaitu, dengan mensyukuri, memanfaatkan untuk hal-hal yang halal dan baik, menghindarkan diri dari gaya hidup berlebihan, serta menggunakan kelebihan rezeki yang kita miliki untuk berbuat baik kepada orang lain. Hanya dengan itu kita akan mendapatkan kebahagiaan, termasuk kebahagiaan di dunia ini dan pada saat kita dibangkitkan kelak.

Jangan sampai, seperti kisah pedang Damocles dalam mitologi Yunani, bukannya bermanfaat untuk membunuh musuh dalam peperangan, ia malah bergerak sendiri dan menusuk pemiliknya. Jangan sampai uang yang seharusnya membantu kita dalam mendapatkan kebahagiaan, malah menjadikan kita egois, berbangga hati sambil melecehkan orang lain, merusak kedamaian keluarga, memutuskan silaturahmi, dan berbagai ekses merusak lainnya. Jangan sampai pula, seperti pada kisah Ibrahim ibn Ad-ham di atas, malah kita yang lebih kaya lebih “fakir” membutuhkan uang disbanding orang miskin. Haidar Bagir (Ketua Dewan Pembina)