Amal Khair Yasmin

Narkoba dan Kehancuran Generasi Bangsa

Narkotika dan obat-obatan  berbahaya (narkoba) makin menggerus ketahanan bangsa dan negara Indonesia. Peredaran naroba kini tidak hanya di kota-kota besar, tapi juga di desa-desa terpencil. Konsumennya, tidak hanya orang-orang kota  tapi juga orang-orang kampung; tidak hanya selebriti dan orang kaya tapi juga rakyat biasa dan orang miskin;  tidak hanya orang dewasa tapi juga anak kecil.

Belum lama ini rakyat Indonesia geram. Bayangkan, sabu sebanyak satu  ton masuk ke Indonesia melalui jalur laut di Anyer, Kabupaten Serang, Banten, Kamis (13/7) lalu. Sabu senilai Rp 2 Triliun yang diselundupkan empat warga Cina (Lin Ming Hui, Chen Wei Cyuan, Liao Guan Yu, dan Hsu Yung Li) itu bisa “merusak otak” lima juta warga negara Indonesia, terutama generasi mudanya.

Hanya dua pekan setelah kasus Anyer, BNN dan Polri menggagalkan penyelundupan 281,6 kg sabu di Penjaringan Utara yang disembunyikan dalam mesin pemoles. Sebelumnya, 1,2 juta ekstasi yang siap edar di Jakarta berhasil “diamankan” kepolisian. Dan masih banyak lagi kasus-kasus penyelundupan dan penyalah gunaan narkoba  yang telah ditangani aparat penegak hukum. Meski demikian – kata Kepala BNN Komjen Budi Waseso – masih lebih banyak lagi “penyelundupan dan penyalahgunaan narkoba” yang lolos dan tidak tertangani. Mafia narkoba mempunyai teknologi penyelundupan yang lebih canggih dari teknologi pengawasan dan deteksi pihak kepolisian. Mafia narkoba, kata Buwas – panggilan akrab Budi Waseso – banyak uang sehingga bisa membeli alat-alat berteknologi canggih dan terbaru untuk melakukan penyelundupan.

Menurut catatan  Badan Narkotika Nasional (BNN), berdasarkan data April 2016 lalu, penduduk Indonesia yang memakai narkoba jumlahnya mencapai 3,1 juta; 1,6 juta mencoba memakai, 1,4 juta teratur memakai, dan 943 kategori pecandu. Jumlah tersebut terus naik. Tahun 2017 ini pemakai narkoba diperkirakan mencapai 5 juta orang. Kini, tiap hari 50 orang tewas akibat penyalahginaan narkoba. Dan kerugian Negara akibat penyalahgunaan narkoba mencapai Rp 72 Triliun. Luar biasa!

Suplai narkoba ke Indonesia, jelas Buwas, berasal dari 11 negara dan dikendalika oleh 72 jaringan mafia. Kesebelas negara itu, antara lain, beberapa negara   di Afrika Barat, Iran, Tiongkok, Pakistan, Malaysia dan sejumlah negara di Eropa. Menurut Kepala BNN, jaringan-jaringan tersebut  satu sama lain tidak saling berhubungan. Mereka bersaing untuk mengedarkan narkotikanya di Indonesia. Penghasilan setiap jaringan dalam setahun mencapai Rp 3,6 Triliun. 

Sasaran perdagangan gelap narkoba sangat luas dan beragam. Mereka menyasar, mulai dari kalangan elite yang memiliki kekuasaan, seperti eksekutif, legislatif, pengusaha, tokoh politik, bahkan agama; lalu artis, mahasiswa, pelajar    hingga  ke kalangan akar rumput. Kalangan terakhir ini biasanya dimanfaatkan oleh bandar jaringan narkotika untuk menjadi pengedar di lapangan. Dari upah sebagai pengedar inilah mereka bisa membeli narkoba yang harganya sangat mahal.

Yang paling mengejutkan, sebagian besar bos-bos mafia itu berada dalam lembaga pemasyarakatan di Indonesia. Ini artinya, lembaga pemasyarakatan nyaris tak berfungsi untuk menghentikan kegiatan bos-bos mafia narkoba tersebut.

Dari Keterangan Buwas terlihat, Indonesia adalah negara yang sangat rentan terhadap infiltrasi narkoba. Kasus satu ton narkoba Anyer, hanyalah secuil dari mega kasus lainnya. Sebab, diperkirakan tiap tahun ratusan ribu ton narkoba masuk ke Indonesia. Jalur masuknya sangat banyak karena Indonesia negara kepulauan yang sangat besar. Jumlah pulaunya mencapai 17.508, di mana 11.801 di antaranya belum bernama. Terbayang, betapa sulinya “mengawasi” para mafia penyelundup narkoba. Dengan bersembunyi di pulau-pulau kecil, lalu memakai perahu ikan, mereka bisa leluasa memasukkan narkoba ke Indonesia. Dengan jumlah aparat kepolisian yang terbatas, jelas sulit mengatasi penyelundupan barang haram tersebut. Kecuali pemerintah bertekad bulat untuk memberantas narkoba dengan biaya dan personil tak terbatas. Atau, memberikan hukuman mati terhadap pengedar narkoba tanpa ampun seperti dilakukan Presiden Rodrigo Duterte yang menghukum mati 2.000 pengedar narkoba hanya dalam beberapa pekan. 

Saat ini, menurut Buwas, Indonesia menjadi pasar narkoba terbesar di Asia. Bahkan mungkin dunia. Tiap hari, 50 orang tewas akibat mengonsumsi narkoba. Jutaan lainnya hidup nelangsa, tak berguna, dan berbahaya  akibat kecanduan narkoba. Bangsa Indonesia nyaris tersandera oleh jaringan narkoba internasional. Indonesia sudah berada dalam “darurat narkoba”. Kita harus belajar dari sejarah di mana “candu atau narkoba” sering dijadakan alat efektif untuk menghancurkan suatu negara. Akankah “mafia-mafia narkoba” itu diperalat negara lain untuk menghancurkan Indonesia? 

Melihat besarnya serbuan “candu” tersebut, pemerintah harus benar-benar sangat serius memberantas narkoba, mulai dari hulu sampai hilir. Kerjasama pemberantasan narkoba secara internasional harus ditingkatkan; sementara di dalam negeri hukum yang keras harus dikenakan kepada para pengedar dan mafia narkoba yang tertangkap. Anggaran negara dan personil keamanan utuk peberantasan narkoba harus ditingkatkan.

BNN harus mempunyai teknologi yang lebih canggih dari para mafia narkoba. Selama ini, kata Buwas, teknologi kepolisian tertinggal jauh dari teknologi yang dimiliki para penyelundup narkoba. Dalam pidatonya di Mukernas PPP dua pekan lalu di Jakarta, Buwas menyebutkan bahwa peredaran narkoba di Indonesia terindikasi kuat merupakan instrument proxy war oleh negara-negara asing. Karenanya, kata Buwas, Indonesia harus sangat serius dan total menghadapi para penyelundup dan mafia narkoba. Jika tidak, Indonesia akan hancur karena narkoba!