Tersebutlah seorang wanita salehah yang menjadi pelayan disebuah rumah. Ia senantiasa melaksanakan shalat malam. Suatu hari, sang majikan mendengar doa-doa yang ia baca dalam sujudnya. Katanya, ‘Ya Allah , aku mohon kepada-Mu dengan cinta-Mu kepadaku agar engkau memuliakanku dengan bertambahnya ketakwaan dihatiku ..dan seterusnya.” Begitu ia selesai shalat, sang majikan bertanya kepadanya,” dari mana engkau tahu kalau Allah mencintaimu ? Mengapa engkau tidak kau katakan saja, Ya Allah , aku mohon kepada-Mu dengan cintaku kepada-Mu?” ia menjawab,” wahai tuaku,kalu bukan karena cinta-Nya kepadaku, mana mungkin dia membangunkan aku pada waktu-waktu seperti ini. Kalau bukan karena cinta-Nya kepadaku, mana mungkin dia membangunkan aku untuk berdiri (shalat) menghadap-Nya. Kalau bukan karena cinta-Nya kepadaku, mana mungkin dia menggerakkan bibirku untuk bermunajat kepada-Nya.”
Sesungguhnya Islam memang mempromosikan hubungan penuh cinta kasih dan kerinduan diantara manusia dan Tuhan persis seperti hubungan perindu dan dirindui (‘asyiq dan ma’syuq). Al-Quran pun menegaskan bahwa seharusnya cintalah yang melandasi hubungan anatara manusia dan Allah:
.. Barangsiapa diantara kamu yang murtad dari agamanya maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya .. (QS Al-Maidah [5]: 54)
Juga,
Orang-orang yang beriman itu , sangat dalam kecintaan mereka kepada Allah. (QS Al-Baqarah [2]: 165)
Nabi , melalui doa yang diajarkan kepada Imam ‘Ali bin Abi Thalib – Sepupu , Sahabat –Terkasih Nabi , dan guru para Sufi awal dengan sangat indah mengungkapkan hal ini :
“ ..Kalaupun aku sabar menanggung beban penderitaan (di neraka) bersama mush-musuh-Mu dan kau kumpulkan aku dengan para penerima siksa-Mu , dan kau ceritakan aku dari para kekasih dan sahabat-Mu , dan kau ceritakan aku dari para kekasih dan sahabat-Mu .. kalupun aku, wahai Ilah-ku , Tuanku , Sahabatku , dan Rabb-ku , sabar menanggung siksa-Mu,bagaimana ku bisa sabar menanggung perpisahan dengan-Mu..”
Kiranya “keintiman” manusia dan Allah inilah yang dimaksud dalam sebuah hadis qudsi yang sangat populer dikalangan para sufi, brikut ini :
“ Seorang hamba mendekat kepadaku dengan menyelenggarakan ibadah-ibadah yang aku wajibkan atasnya. Kemudian , ia terus mendekat kepadaku dengan (menambah ibadahnya ) dengan berbagai amalan sunnah , hingga aku mencintainya. Maka, aku akan menjadi matanya untuk melihat, telinganya untuk berjalan , hatinya untuk berpikir , dan lidahnya untuk berbicara;jika ia memanggil-Ku , aku menjawabnya; jika ia meminta kepada-Ku, aku memberinya..”
Sesungguhnya , “ hubungan penuh kencintaan “ ini jugaklah yang dimaksud ketika Allah berfirman , Dan tidak aku ciptakan jin dan manusia , kecuali untuk menghamba (beribadah) kepada-Ku.
Ibn ‘Abbas , salah seorang sahabat Nabi yang paling berilmu, pernah menafsirkan kata li ya’budun (untuk menyembah Allah) dengan li ya’rifun ( untuk mengetahui Allah ) . dengan kata lain , adalah wajib , bahkan merupakan inti tujuan penciptaan , bahwa kita harus selalu belajar untuk mengenal Allah dengan sebaik-baiknya.
Para ulama dan kaum Sufi melanjutkan eksplorasi tentang makna kata ibadah ini. Yakni , pemujaan.(Merujukan padanan bahasa Inggrisnya, yakni to Woship, kiranya juga membantu memahami makna ini dengan lebih baik, mengingat kata ini dapat diterjemahkan baik sebagai menyembah maupun memuja. Bahkan juga mengidolakan , menjadikan idola, yang bermakna sesuatu yang disembah (berhala). Dalam bahasa Arab pun , kata ber-gender feminin dari ma’bud (yang disembah) yakni mu’budah berarti perempuan yang dipuja atau dicinta.
Kiranya pemberian arti ini mudah diterima,mengigat kenyataan bahwa orang yang mencinta begitu butuh kepada orang yang dicintainya sehingga ia siapa melakukan apa saja yang menyenangkan orang yang dicintainya. Persis sebagaimana sikap seorang budak kepada tuannya, seperti penyembah kepada yang disembahnya. Orang yang mencinta memang , praktis , menyembah ( menghamba) kepada orang yang dicintainya.
Lebih dari itu, seperti terungkap dalam hadis kanz ( pembedaharaan) di atas, ada hubungan identitas antara mengenali (Allah) dan mencintai-Nya. Bukankah difirmankan-Nya disana bahwa keinginan-Nya untuk dikenali (u’raf) bersumber dari kerinduan atau kencintaan-Nya ?
Nah, sudah seharusnya setiap manusia merindukan hubungan dengan Allah yang diikat dengan kecintaan sejati seperti ini. Manusia kepada Allah . Yakni, ketika segenap kedirian serba –duniawi kita telah sirna oleh mujahadah ( perjuangan keras membersihkan hati dari kotoran akibat memperturutkan nafsu duniawi), dan jiwa kita yang telah lebur (fana) dan tinggal tetap (baqa) menyatu dengan-Nya. Hubungan seperti ini adalah puncak dari seluruh perjalanan spiritual manusia (kembali kepada Allah).[]