Anak-anak sekarang jika mengerjakan PR (Pekerjaan Rumah) kelihatannya santai-santai saja. Jika ada PR, entah itu matematika, agama, sastra, sejarah, dan lain-lain – mereka dengan mudah bilang: ah gampang nanti bisa dicari di Google. Soal apa pun, dalam pikiran anak-anak sekarang, jawabannya pasti ada di Google. Bahkan bila ada tugas bikin puisi, mereka pun dengan mudah menyontek puisi dari Google.
Memang, hampir semua masalah ada di Google. Apalagi bila orang mempunyai banyak kata kunci untuk meneluri persoalan. Google pun menyediakannya. Maka tak heran bila Googling sekarang tidak bisa dipisahkan dari pelajar, bahkan mahasiswa, dosen, dan guru besar sekali pun ketika mereka mencari informasi atau pengetahuan yang lebih beragam dan luas.
Dengan luasnya cakupan masalah yang disediakan Google, maka timbul pertanyaan: masihkah orang harus membaca buku-buku teks yang tebal-tebal itu untuk melakukan sebuah studi atau penelusuran ilmu pengetahuan? Jawabannya mungkin panjang dan menimbulkan perdebatan. Jika dikatakan “tidak harus membaca buku” maka alasannya juga panjang. Ini karena melalui Google, orang pun bisa masuk ke situs-situs ilmu pengetahuan yang diinginkannya. Apalagi sekarang sudah banyak orang yang dengan suka rela memasukkan buku tesis, disertasi, atau karya ilmiahnnya ke website pribadinya sehingga dengan mudah bisa diakses Google. Tapi alasan orang yang masih menganggap “harus tetap membaca buku” juga ada benarnya. Bagaimana pun, masih banyak karya ilmiah yang berbentuk buku dan tidak dimasukkan dalam pustaka online atau website pribadinya. Namun demikian, saat ini hampir semua perpustakaan besar baik di dalam maupun luar negeri, sudah punya website. Dan itu artinya bisa diakses Google. Tapi, jangan lupa, sampai saat ini tidak semua buku dimasukkan dalam website. Paling-paling kata pengantar atau ringkasannya. Jika ingin baca keseluruhan buku, maka disarankan untuk membeli buku digital atau men-download-nya dengan bayar sekian dolar.
Sekarang apa masalahnya, jika memang Google sudah menyediakan segalanya? Prof. Musda Mulia, Peneliti Litbang Kementerian Agama, menyatakan, selengkap-lengkapnya Google, ia tidak memberikan sensasi psikologis seperti membaca buku. Ini artinya, ilmu yang didapat dari Google, kurang meluruh di pikiran dan hati pembaca. Lagi pula, kata Musda, informasi di Google biasanya kurang lengkap dan kurang mendalam. Makanya, bagi saya dan anak-anak saya, membaca buku tetap lebih penting ketimbang membaca di Google.
Kembali kepada anak-anak. Sejauh mana keuntungan dan kerugiannya dalam dunia pendidikan bila semua masalah atau pelajaran dicari jawabannya di Google? Inilah persoalannya. Anak-anak sekarang yang minat bacanya “instant dan dangkal” kemudian langsung terjun ke Google, maka dia merasa tahu dan merasa akan tahu segalanya bila mencari jawaban di Google. Padahal Google hanyalah sebuah alat atau mesin pencarian. Jika pengetahuannya dangkal, maka “mesin” itu pun tak bisa dipakai maksimal untuk pencarian masalah. Orang harus mengetahui dulu di mana kunci-kunci rahasia untuk kemaksimalkan manfaat dari Google tersebut. Dora Emon misalnya, tak akan mampu memacu Ferari-nya secara maksimal di ajang balap F-1, karena ia tak mengetahui kunci-kunci dan strategi dalam mengendalikan mobil itu. Ini beda dengan Lewis Hamilton yang mampu “menguasai” ajang balap F-1 dengan Mercedes-nya.
Gambaran tersebut sekadar membayangkan, bagaimana memanfaatkan Google, tergantung kapasitas pengetahuan pemakainya. Bila pemakainya berpengetahuan luas (biasanya diperoleh dari buku-buku teks bermutu dan bacaan berkulitas), maka mereka pun punya banyak kata kunci. Kata kunci itulah yang kemudian bisa dicari di Google. Persoalan sekarang, anak-anak yang bacaannya masih dangkal, mereka merasa tak perlu lagi membaca buku-buku ilmiah bermutu karena merasa semuanya bisa dicari di Google.
Bagi guru atau dosen yang rajin membaca buku maupun googling, akan sangat mudah mengetahui jawaban-jawaban pekerjaan rumah atau tugas-tugas yang diberikannya kepada murid-murid – apakah itu jawaban orisinal atau dari Google. Bahkan skripsi, tesis, dan disertasi pun akan ketahuan bau Google-nya jika sang pembimbing rajin membaca buku ilmiah sekaligus googling.
Dengan demikian, membaca buku-buku bermutu tetap merupakan keharusan untuk menambah pengetahuan. Jika itu tak dilakukan, mencari informasi dari Google pun tidak maksimal hasilnya. Malah, jika semua murid berpikiran sama – cukup mencari di Google – maka hasilnya pun nyaris sama, meski dudah diedit sedemikian rupa. Ini artinya kreativitas mereka mandeg dan celaka untuk perkembangan dunia pendidikan dan ilmu pengetahuan! ss