Ya, bagai menengok dunia lain. Ketika pada beberapa hari terakhir ini saya mengunjungi dan berusaha menyapa para dhuafa yang menghuni beberapa asrama, pusat pendidikan, dan panti untuk orang-orang dengan gangguan jiwa. InsyaAllah runtutan anjangsana ini masih akan saya teruskan ke rumah singgah bagi anak-anak penderita kanker, dan pusat pendidikan anak special needs. Semua merupakan program yang terkait dengan Amal Khair Yasmin.
Yang pertama saya kunjungi adalah Rumah dan Sekolah Yatim Mizan. Banyak cerita bahagia, tapi tak kurang kisah mengharukan di sana. Bagi anak-anak yatim ini, terutama yang datang dari jauh-dari Kalimantan, Medan, Riau dan sebagainya–kerinduan mereka adalah untuk bisa pulang bertemu keluarganya — setelah pertemuan terakhir, setidaknya dua tahun lalu. Tapi tiket pesawat tentu terlalu mahal, untuk anak-anak usia SMP ini. Jadi mereka hanya bisa menekan kerinduan itu, sampai ada dermawan yang mau membantu mereka.
Kunjungan kedua saya, di sekolah gratis Ciseeng. Anak-anak itu harus bergulat dengan rasa kurang percaya diri dan kurangnya motivasi – mungkin bersumber dari rasa kurang percaya diri itu. Meski, sangat membesarkan hati juga saat mereka bercerita tentang pengalaman mengikuti super camp di Banten dan bertemu teman-teman baru dari berbagai daerah. Bahkan juga mengikuti pelatihan, meski hanya lewat zoom, yang melibatkan anak-anak dari berbagai negara lain. Juga prospek tinggal di Jepang bersama induk semang baik hati yang siap menerima mereka.
Tapi yang paling membuat saya terlempar ke dunia lain ketika kami mengunjungi panti ODGJ (orang dengan gangguan jiwa jalanan. Btw, pimpinannya lebih senang menyebut lembaganya sebagai pusat mental care). Seperti di lembaga-lembaga lain yang saya kunjungi sebelumnya, saya sempatkan berdialog dengan mereka. Ada anak muda gagah, yang pernah bekerja di bagian maintenance fasilitas Garuda Indonesia, yang (merasa) dibuang oleh ayah sambungnya, dan sekarang sangat merindukan bekerja kembali. Ada juga seorang tengah baya lulusan Universitas Soedirman yang dikirim ke panti ini karena terganggu jiwanya. Tampak segar, bergairah, dan cerdas, setelah sore itu menyelesaikan membuat kolam ikan. Lalu juga anak muda yang sempat terganggu mentalnya karena ketagihan obat terlarang. Ada juga seorang tengah baya lain, yang terganggu jiwanya karena stres diberhentikan dari pekerjaan. Lalu juga seseorang yang mengalami susah tidur – bahkan, katanya, di panti ini pun sudah dua bulan tidak tidur (kecuali sebentar-sebentar tapi, alhamdulillah, tampak sehat).
Yang paling keras melemparkan kami ke dunia lain adalah kisah seorang anak muda yang, dulunya bekerja, tapi kemudian terganggu mentalnya. Berkali-kali dia ditemukan orang dalam keadaan luka-luka dipukuli massa, karena secara tak sadar masuk ke berbagai fasilitas yang tak seharusnya dia masuki, lalu dituduh mau mencuri, bahkan memata-matai. Sampai, ketika dia dikirim ke panti ini, dia pun dalam keadaan luka sekujur tubuh, dipukuli massa, (mungkin, karena tak sadar), merusak benda-benda di sekitarnya.
Dan ini yang menjadikan imajinasi saya melayang, dia bercerita, berkali-kali mengalami peristiwa spiritual. Termasuk bertemu “Bunda Maria” (Siti Maryam) yang beberapa kali menasihatinya agar tak terlalu dirisaukan oleh masalah-masalah kehidupan, bertemu seorang tinggi besar berjenggot panjang yang ditanyanya tentang dimana Allah. Juga tentang pengalamannya tidur di kuburan, atau di bawah pohon, di bawah hujan deras. Banyak makhluk gaib yang (dirasanya) membaca bacaan-bacaan Al-Quran dan berbagai macam wiridan. Ketika tertidur di bawah pohon di bawah hujan deras, dia merasakan ada yang memberinya kehangatan dengan memeluk tubuhnya. Hingga mencipta lagu yang, dia yakini, diilhamkan oleh Malaikat Jibril kepadanya. Sebuah lagu tentang pandangan orang yang melihatnya sebagai tidak waras, dan sebagainya, padahal sesungguhnya dia merasa sedang mencari dan bertemu Tuhan.
Terharu, pasti. Takjub. Tapi saya ragu. Jangan-jangan yang dialaminya benar-benar pengalaman-pengalaman spiritual? Hanya saja kita tak memahaminya? Bukankah Nabi pun dianggap gila ketika menerima wahyu melalui Jibril a.s. Puncak keharuan tiba saat dia bercerita, bahwa sudah lama dia berusaha mencari rumahnya. Tempat dia bisa merasakan kenyamanan. Hingga dia berlabuh di panti ini. Ketemu sang Ustadz muda pemimpin panti. Hingga dia berpikir bahwa akhirnya dia telah menemukan rumahnya. Sedemikian sehingga saat saya tanya: “Sekarang apa yang diinginkan”. Dengan tanpa ragu dia menjawab: “Saya ikut apa yang diinginkan Ustadz”.
Saya pun pulang sambil berpikir. Sebetulnya sayakah, atau si anak muda, yang waras ini: Sayakah, penikmat ibn Arabi yang (berusaha) menempuh jalan spiritual, atau dia, sang sufi? Saya terus terang tak yakin…