Kehidupan Manusia, Perjalanan Cinta
Oleh : Haidar Bagir
Alkisah, terasinglah sebilah bamboo dari rumpunnya, dan kini ia lahir sebagai sebuah seruling. Ia dirundung duka dan kerinduan yang tak berkesudahan. Setiap kali ditiup, suaranya sendu menyayat hati. Rasa terpisah dari induknya membuat dia menyanyi penuh duka dan kerinduan.
Dengarkan nyanyian sendu seruling bambu,
Menyayat selalu,
Sejak direnggut dari rumpun rimbunnya dulu,
Alunan lagu sedih dan cinta membara
Rahasia nyanyianku, meski dekat
Tak seorangpun dapat melihat dan melihat
Oh, andai ada teman yang tahu isyarat
Mendekap segenap jiwanya dengan jiwaku!
Ini nyala cinta yang membakarku,
Ini anggur cinta mengilhamiku.
Sudilah pahami betapa para pecinta terluka,
Dengar, dengarkanlah rintihan seruling…!
Dalam kisah ini, Jalaludin Rumi mengibaratkan manusia sebagai bilah – bilah bamboo yang tercerabut dari rumpunnya. Berasal dari Allah, kini kita terpisah dari – Nya. “Setiap orang yang tinggal jauh dari sumbernya ingin kembali ke saat ketika dia bersatu dengannya,” kata Rumi.
Memang kehidupan manusia, walau tak banyak yang menyadarinya, sesungguhnya adalah perjalanan penuh kerinduan. Dimulai dari kejatuhan dan disambung dengan keinginan pulang. Ya, kehidupan manusia sesungguhnya adalah perjalanan pergi dan pulang, daru suatu tempat, berangkat (mabda’) menuju suatu tempat kembali (ma’ad), yang tak lain adalah tempat berangkatnya juga : manusia bersumber dan berawal dari Tuhan untuk berjalan kembali kepada Tuhan.
Inna lil – lah wa inna ilai –hi raji’un ; Sesungguhnya kita bersumber/kepunyaan/bagian dari Allah, dan sesungguhnya kepada dialah kita akan kembali. (QS Al-Baqarah [2]:156)
Kita tercipta – saya harus menyebutnya sebagai terpancar (teremanasi) – dari Allah, tertempatkan kea lam dunia, demi mencari jalan pulang kembali kepada – Nya.
Dalam kebijaksanaan (hikmah) Islam, satu siklus lengkap perjalanan hidup manusia melewati dua busur yang membentuk sebuah lingkaran penuh : busur turun (al – qaws al – nuzul) dari Allah kea lam ciptaan; dan busur naik (al – qaws al su’ud) dari alam ciptaan kembali kepada Allah.
Seperti difirmankan – Nya :
Tsumma dana fa tadalla. Fa kana qaba qawsayni aw adna; Maka Dia pun mendekat dan makin mendekat lagi. Maka, jadilah jarak antara – Nya dan manusia (Dengan Muhammad Saw. Dalam perjalanab mi’raj, sebagai representasinya) adalah dua busur panah, atau lebih dekat lagi. (QS Al – Najm [53]: 8-9)
Dalam kaitan ini, kebahagiaan sepenuhnya sepenuhnya terletak pada kelancaran perjalanan pulangnya. Kodrat manusia adalah damai dalam kasih sayang Tuhan, Sang Maharahman, Sang Maharahim. Keterpisahannya adalah penderitaan dan kesengsaraan. Meski tak banyak di antara kita menyadarinya.
Kita berjungkir – balik mengejar pencapaian dan kesenangan duniawi – menumpuk harta, meraih kekuasaan, menangguk popularitas – sebenarnya adalah ketersamaran terhadap kerinduan ini. Kita merasa akan mendapatkan kasih sayang yang kita dambakan jik akita miliki semuanya itu.kenyataannya semua itu hanya fatamorgana. Kebahagiaan kita, kepuasan kita, kedamaian kita tak terletak di situ. Yang kita kejar sesungguhnya tak kurang dari cinta sepenuhnya dapay kita andalkan. Cinta yang sempurna. Cinta Tuhan.
Maka, pertaruhannya terletak pada seberapa besar kita bisa mendekati – Nya, dengan berusaha menjadi seperti – Nya. Menjadi memiliki akhlak – Nya : berakhlak dengan akhlak – Nya (al – takhalluq bi akhlaq Allah), menjadikan hati kita dipenuhi kasih sayang terhadap sesame. Karena, hanya dengan mengembangkan kasih sayang kita baru memiliki kesempatan mendapatkan kasih sayang – Nya. Kata pesuruh – Nya :
“Man la yarham, la yurham; “Barangsiapa tak menyayangi, tak akan disayangi.”
Dan kasih sayang – Nya terletak pada kasih sayang kepada sesame manusia, kepada sesame ciptaan – Nya. Masih kata Rasul – Nya :
“Barangsiapa menyayangi yang dibumi, akan disayangi yang di langit.”
Namun, senyampang perjalanan – jauh pulang kepada Sang Sumber, dia bisa dapati tempat pulang di bumi, di antara orang – orang yang menyayangi. Ibu, Ayah, saudara, kerabat, dan sahabat. Mereka yang kita rasa menyayangi kita setulus hati, yang cintanya bisa kit andalkan. Yang kasih sayangnya sesungguhnya merupakan pancaran kasih Tuha, yang ke dalam hati mereka, Tuhan pancarkan kasih sayang – Nya. Merekalah sumber kebahagiaan dan kedamaian di dunia. Di setiap ada kesempatan, kita selalu terdorong pulang kepada mereka. Sebaliknya, sebagaimana arti – aslinya, keterasingan dari para kekasih kita adalah laknat.
Hidup sesungguhnya adalah perjalanan kembali ke Allah karena atas fitrah – Nya kita diciptakan (QS Al – Rum [30]: 30). Kita tak lain adalah soul mate – Nya. Dan, di ujung perjalanan, menunggu Kekasih – sejati kita, Allah Yang Maha Pengasih, yang hanya dalam pelukan – Nya pupus sudah semua kerinduan kita, yang di haribaan – Nya, penuh sudah hasrat kita.
“Wahai jiwa yang tentram.
Pulanglah Engkau ke Pengasuh – Mu
Dengan rela dan direlai – Nya.
Maka, masuklah ke kelompok pemuja – Ku.
Maka, masuklah ke surge – Ku. “
Sumber : Buku Islam Risalah Cinta da Kebahagian