Idul Fitri (1436 H) baru saja usai. Umat Islam Indonesia yang mudik ke kampung halaman kita telah mulai bekerja lagi di instansinya masing-masing. Jakarta telah normal kembali. Macet, sumpek, bising!
Lalu, adakah madu Idul Fitri yang bisa kita rasakan? Banyak. Salah satunya, antusiasme umat Islam untuk saling memaafkan. Memaafkan, memang kelihatan sepele. Tapi, memaafkan sebetulnya mengandung energi yang luar biasa. Orang yang memaafkan seseorang – apalagi bila orang tersebut mempunyai kesalahan besar terhadap dirinya – akan membuat orang tersebut mendapat limpahan energi positif.
Memaafkan seseorang yang berbuat salah kepada kita, membuat hati kita terlepas dari dendam kesumat. Ini sama dengan releksasi psikologis. Jiwa kita tak terganggu. Hati kita “bersih” dan ujungnya, beban psikologis pun sirna. Ketika beban psikologis itu sirna, metabolisme tubuh pun kembali normal. Tak ada beban yang mengakibatkan metabolisme dalam tubuh terganggu yang bisa menimbulkan komplikasi berbagaipenyakit. Dengan demikian, memaafkan adalah perbuatan yang menyehatkan. Itulah sebabnya Rasulullah mengajak umatnya untung mudah memberi maaf. Menjadi pemaaf setidak-tidaknya memberikan dua keuntungan yang langsung bisa dirasakan. Pertama, membebaskan diri kita dari perasaan dendam yang destruktif terhadap tubuh. Kedua, membuat orang yang dimaafkan menjadi “ringan” dan terbebas dari rasa bersalah yang berlebihan. Dalam berbagai penelitian psikologi, ternyata orang yang pemaaf lebih sehat, awet muda, dan jauh dari penyakit jantung. Ingat, saat ini penyakit jantung sudah menjadi pembunuh nomor satu di dunia, bahkan di Indonesia. Orang yang suka dendam, iri, dan tidak pemaaf, muda sekali terkena gangguan jantung. Kenapa? Metabolisme di tubuh orang tersebut terganggu. Bila hal itu terjadi, seluruh sistem organ tubuh pun ikut terganggu. Dan kita tahu, jantung adalah bagian terpenting dalam tubuh manusia. Jantunglah yang memompa darah dan mengatur aliran darah. Jika jantung terganggu, aliran darah pun terganggu.
Sebagai seorang muslim, tentu saja, niat kita memaafkan tidak hanya sekadar untuk menyehatkan fisik dan psikis, tapi lebih jauh lagi, mengikuti Sunnah Rasul. Nabi Muhammad dikenal sebagai pribadi yang mudah memaafkan orang. Nabi memaafkan orang yang mencacinya, orang yang melempar kotoran kepadanya, dan orang yang melempar batu terhadapnya (sampai Rasul patah giginya). Semua dimaafkan. Bahkan Rasul mendo’akan orang-orang yang bersalah tersebut agar mendapat petunjuk dan menjadi muslim yang pemaaf.
Itulah di antara kenangan kita dalam merayakan Idul Fitri. Bagi orang Jawa, kenangan tersebut makin dalam, karena tersimbolkan dalam saling mengirim atau menyuguhkan makanan ketupat. Dalam simbolisme Jawa, artinya, masing-masing individu mengakui kesalahan (lepat) dan minta maaf atas semua kesalahannya.
Hari Fitri itu, datang setelah umat Islam menjalani puasa di bulan Ramadhan. Dan kita tahu, Ibadah Puasa merupakan penggemblengan jiwa raga umat Islam untuk mempersiapkan diri menuju hari fitri – hari suci di mana manusia kembali menjadi “bayi” tanpa dosa. Duh, betapa indahnya hidup tanpa dosa! Mari kita berusaha untuk hidup seperti itu! Seperti bayi tanpa dosa untuk menggapai sorga!