Setiap manusia pasti pernah mengalami kehilangan — tidak saja harta, tapi juga kesehatan, kehormatan, kekasih, kebahagiaan dan cinta. Bahkan, keberhasilan yang dicapai seseorang — kata psikolog Harold H Bloomfield — pada sisi tertentu sebetulnya merupakan suatu kehilangan. Yaitu, kehilangan sasaran yang akan diperjuangkan. Ada orang yang bisa bersabar menerima musibah kehilangan. Namun, banyak pula yang bingung, stres, bahkan gila karena tidak bisa menerima kehilangan tersebut. Keterikatannya yang kuat pada sesuatu yang dimilikinya menjadikan ‘jiwanya terputus dan hampa’ jika sesuatu itu hilang.
Kehilangan bisa menimpa siapa saja. Tak pandang bulu. Lelaki, perempuan, anak-anak, orang tua, orang desa, orang kota. Siapa saja. Ini karena kehilangan adalah sebuah proses yang harus dilalui dalam perguliran kehidupan. Di dunia, kehilangan pada hakikatnya merupakan unsur esensial dalam proses penciptaan. Bunga mawar merekah, kuntum pun hilang. Tanaman mekar, biji pun hilang. Fajar menyingsing, malam pun hilang. Kematian datang, hidup pun hilang.
Dalam hal terakhir ini, banyak orang menganggap kehilangan hidup adalah tragedi terbesar dalam perjalanan sejarah manusia. Itulah sebabnya, orang berusaha mempertahankan hidup dengan sekuat tenaga dan biaya. Bahkan untuk mempertahankan hidupnya, tak sedikit orang yang rela mengorbankan apa saja — termasuk keimanannya. Padahal, kehilangan hidup adalah sesuatu yang alami, yang pasti akan terjadi.
Hidup memang karunia Allah terbesar pada ciptaan-Nya. Sejauh ini tidak ada orang yang mampu menciptakan hidup. Robot canggih dengan sejuta mikrochip dan sensor elektrokimiawi pun tidak mampu menjalani hidup seperti halnya makhluk hidup ciptaan Allah.
Bagaimana dengan kematian? Kematian, sesungguhnya tidak kalah menakjubkannya dengan hidup. Kematian, sebagaimana hidup, adalah karunia terbesar dari Allah kepada makhluk ciptaan-Nya. Sebab, kematian — tidak seperti matinya robot ciptaan manusia — merupakan gerbang dari kehidupan baru.
Alquran, misalnya, memandang kematian sebagai awal kehidupan yang sebenar-benarnya. Itulah sebabnya, sufi Yazid Bustomi, sangat heran mengapa orang takut mati. Bukan kehidupan yang takut pada kematian, kata Yazid Bustomi, tapi kematian yang seharusnya takut pada kehidupan. Kesadaran Bustomi ini muncul karena ia melihat kematian sebagai awal dari kehidupan yang hakiki.
Bila kita melihat ini, maka kematian sesungguhnya jauh lebih menakjubkan dibanding kehidupan. Ini karena kematian merupakan awal dari kehidupan manusia yang benar-benar ril dan adil. Allah, misalnya, melukiskan kehidupan dunia ini sebagai senda gurau dan permainan. Sedangkan hidup setelah kematian adalah sebuah kehidupan yang sebenar-benarnya kehidupan. ”Dan tiadalah kehidupan dunia melainkan suatu senda gurau dan permainan. Dan sesungguhnya kehidupan akhirat itulah yang merupakan kehidupan sebenarnya kalau mereka mengetahui (QS. 29: 64).
Untuk itulah, Allah selalu mewanti-wanti manusia untuk membekali diri dalam mengarungi kehidupan yang sebenar-benarnya. ”Bertakwalah kepada Allah, wahai manusia. Perhatikan apa yang telah kau perbuat untuk kehidupan akhiratmu.” (QS. 59:18).