Kesucian Fitrah
Syahdan, di suatu masa, berkuasa seorang tiran yang sangat jahat. Rakyat menderita luar biasa di bawah kekuasaannya. Hingga suatu saat, sang tiran menjelang ajalnya. Dia pun memanggil perdana menteri kerajaannya dan memerintahkan, “ Nanti, setelah aku mati bakarlah jenazahku dan tebarkan abunya di tujuh lautan.” Rupanya, dalam kejahatannya yang luar biasa, fitrah sang tiran tetap berbicara. Ia tetap takut dan percaya pada perhitungan ( hisab ) oleh Allah Swt. atas segala perbuatannya. Konon, karena ketakutannya kepada Allah mengapuni dosa-dosanya dan memasukkannya ke surga.
Dan hadapkanlah wajahmu dengan hanif kepada agama Allag. ( Tetaplah atas) fitrah Allah yang manusia diciptakan atasnya. Tak sekali-kali ada perubahan dalam ciptaan Allah. Itulah agama yang lurus.. ( QS Al-Rum [30]: 30)
Kata fitrah bahasa Arab Fith-rah berasal dari akar kata f-th-r. Arti kata ini adalah “keawalmulaan sesuatu, sementara sebelumnya sesuatu itu tidak ada”. Kalinya dan tanpa preseden( contoh)”. Sinonimnya adalah al-khalq atau al-ibda’. Contohnya, air susu yang pertama kali keluar dari induk unta disebut sebagai fithr. Maka dalam ayat di atas, fitrah berarti unsur manusia yang diciptakan pertama kali. Bukan itu saja, fitrah manusia itu tak pernah berubah sepanjang hidupnya dengan kata lain, selama-lamanya. Bukan kebetulan juga bahwa makna lain kata fitrah adalah cetakan atau patrian, yang sekali dicetak atau dipatri, tak akan bisa diubah atau dilepaskan.
Di atas semuanya itu, peting kita sadari bahwa sesungguhnya unsur kemanusiaan bahwa, tak lain dan tak bukan, terbentuk atas model sifat atau “ tabiat ”- yakni fitrah – Allah sendiri.
Selanjutnya, disebutkan juga dalam ayat 30 tersebut, bukan saja bahwa fitrah manusia merupakan perwujudan ruh Allah, tetapi ia juga identik dengan agama itu sendiri, tepatnya “agama yang lurus”. Yakni, suatu pandangan dunia ( world – view atau weltanscahauung ) dan cara hidup ( way of life ) yang benar, yang berorientasi keimanan kepada Allah, dan kepada kebenaran suatu cara pandang dan cara hidup yang dalam ayat yang sama, disubut juga dengan cara hidup uyang hanif .
Dalam analisis lebih jauh, kita mendapati bahwa fitrah memiliki dua unsur utama dan fundamental. Pertama, keimanan kepada Tuhan sebagai Rabb kita, sebagai Pencipta dan Perawat kita:
Dan ingatlah ketika Allah mengeluarkan ( cikal-bakal) anak cucu Adam dari punggung atau tulang sulbi ayah-ayah mereka ( yakni di alam sebelum alam dunia ini) dan menarik persaksian atas diri mereka, “ Bukankah Aku ini Rabb-Mu?” Mereka pun berkata , “ Benar, kami bersaksi.” Agar kelak mereka tidak berkata, “ sesungguhnya mengenai hal ini kami lupa.”(QS Al- A’raf [7]: 172)
Unsur kedua fitrah pengetahuan tentang jalan kebaikan dan jalan keburukan yang telah diilhamkan kepada manusia sejak awal penciptaannya:
Dan demi jiwa dan penyempurnaan ( ciptaan)-Nya. Maka diilhamkan kepadanya jalan keburukan dan jalan ketakwaan. Pasti berbahagia siapa saja yang memelihara kesucianya, dan pasti sengsara siapa saja mengotorinya. ( QS Al- Syams [91]: 7-10)
Berdasarkan itu semua, kita dapat menyimpulkan bahwa setiap manusia diciptakan dengan kecenderungan bawaan beriman kepada Allah dan kepemilikan pengetahuan kebaikan atau keburukan akan tetapi, yang lebih penting dari itu adalah bahwa kepenuhan dan kebermaknaan hidup kita, yakni kebahagian kita, terletak dalam keberhasilan kita memelihara kesucian keyakinan kita kepada-Nya dan kemampuan kita dalam berbuat baik dan menghindar dari keburukan yang pengetahuan tentangnya telah diilhamkan kepada kita tersebut. Kegagalan dalam hal ini jauhnya kita dari Tuhan, dan kurangnya orientasi amal saleh dalam kehidupan kita hanya akan meninggalkan kehampaan hati, betapa pun mungkin kehidupan kita berlimpah materi dan dikerumuni banyak orang. Karena, bukankah kecenderungan – kecenderungan ini telah menjadi fitrah ( tabiat-bawaan) hidup kita yang tak akan pernah berubah ?
Inilah kiranya yang dimaksud William James, seorang fisuf dan psikolog Amerika awal abad 20 ketika menulis dalam buku klasiknya, Varieties of Religion Exoerience. Bahwa betapa pun kehidupan akan menarik manusia ke arah yang bertentangan ( materialistik) , dan betapa pun dikerumuni banyak orang, manusia taka akan pernah berbahagia sebelum ia bersahabat dengan The Great Socius ( Sang Kawan Agung ) Tuhan .![]