Jika kita melihat kemacetan di Jakarta, ternyata persoalannya bukan hanya jalan rayanya kecil dan kendaraannya banyak – tapi juga persoalan disiplin para pengemudi. Para pengemudi kendaraan bermotor – entah itu truk, bus, sedan, bahkan sepeda motor – banyak yang melanggar aturan lalu lintas. Lampu lalu lintas “merah, kuning, hijau” pun seakan tak berfungsi. Kenapa demikian? Masyarakat tak peduli karena sudah bosan melihat pelanggaran lalu lintas seperti itu. Lama-lama, masyarakat pun apatis. Kemudian jadi kebiasaan. Lalu jadi karakter.
Di Jepang, kondisinya berbeda sekali. Masyarakat taat peraturan lalu lintas. Jika ada yang tidak taat, si pelanggar aturan lalu lintas akan malu sendiri. Ketaatan berlalu lintas sudah menjadi karakter masyarakat Jepang. Akio Morita, pendiri Sony Corporation, menyatakan “karakter sebuah bangsa bisa dilihat dari kondisi lalu lintasnya”. Bila kondisi lalu lintasnya semrawut dan macet, begitlah karakter bangsa itu. Melihat hal ini, kita bisa menilai sendiri karakter bangsa Indonesia.
Chiko Akihiro, seorang guru, yang pernah berkunjung ke Jakarta terheran-heran melihat kesemrawutan lalu lintas di Indonesia. Di Jakarta, Chiko berjalan-jalan mengelilingi ibu kota bersama Anton, teman sesama guru. Di Tokyo, katanya, meski terkadang lalu lintas macet namun tetap teratur. Tapi di Jakarta, kemacetannya semrawut dan sulit diatur. Chiko juga heran ketika melihat mobil yang tetap melaju kencang meski ada orang menyebrang di jalur zebra cross. Di Jepang, jika pengemudi melihat zebra cross, meski tidak ada orang menyeberang, kendaraan akan berjalan pelan. “Orang Jepang sangat menghormati aturan dan tata tertib,” kata Chiko. Pada saat orang Jepang ingin menyeberang jalan, ia selalu berusaha untuk mencari zebra cross atau jembatan penyebrangan, berbeda dengan orang Indonesia yang dengan mudah menyeberang jalan di mana saja dan sesukanya.
Ketika ditanya Anton, kenapa hal itu terjadi di Indonesia, Chiko menjawab: “It’s all happened because of the education system”. Terkejut dengan jawaban Chiko tersebut, Anton bertanya lagi. “Apa hubungannya menyeberang jalan sembarangan dengan sistem pendidikan?” Chiko menjelaskan: “Di dunia ini ada dua jenis sistem pendidikan. Pertama adalah sistem pendidikan yang hanya menjadikan anak-anak menjadi makhluk ‘knowing’ atau sekedar tahu saja, sedangkan yang kedua sistem pendidikan yang mencetak anak-anak menjadi makhluk ‘being’. Pada kasus pertama, anak-anak knowing – anak-anak dididik mempelajari banyak hal, tapi hanya sekadar tahu (knowing) saja. Sedang pada kasus kedua, anak-anak dididik mempelajari suatu hal secara mendalam sehingga mereka tidak hanya tahu, tapi menghayati seakan-akan dirinya terlibat di sana (being).
Anak-anak yang tumbuh menjadi makhluk knowing hanya sekedar mengetahui bahwa zebra cross adalah tempat penyebrangan. Tapi mereka tak mengharuskan dirinya untuk menyebrang melalui zebra cross. “Jadi pengetahuannya hanya menempel di kepala, tidak menempel di hati,” ujar Chiko. Sekolah yang memproduksi manusia knowing itu, kata Chiko, biasanya mengajarkan banyak sekali mata pelajaran. Sampai-sampai anak-anak stress, depresi dan akhirnya mogok sekolah.
Di Jepang, ungkap Chiko, sistem pendidikan benar-benar diarahkan untuk mencetak manusia-manusia yang tidak hanya tahu (knowing) apa yang benar, tapi mau melakukan apa yang benar sebagai bagian dari kehidupanya (being). Di Jepang, ungkap Chiko. anak-anak sekolah hanya diajarkan tiga mata pelajaran pokok: Basic Science, Basic Art, dan Basic Social. Ketiga mata pelajaran itu dikupas secara luas dan komprehensif sehingga anak-anak bisa melakukan aktivitas sesuai dengan mata pelajaran yang diterimanya di sekolah. Metode ini diajarkan pada anak-anak sejak usia sangat dini agar terbentuk sebuah kebiasaaan yang kelak akan membentuk mereka menjadi manusia being. Yaitu manusia yang mau melakukan apa yang diketahuinya benar.
Apa yang kita peroleh dari perbincangan dengan Chiko tersebut? Di Jepang sekolah memegang peran yang sangat penting bagi pembentukan perilaku dan mental anak-anak. Tidak hanya berfungsi sebagai lembaga pemberi ijazah. Karakter, perilaku, dan kejujuran adalah landasan untuk membangun anak didik yang lebih beradab dan bermasa depan. Tidak cukup sekadar angka-angka akademik seperti tertera di buku-buku raport dan nilai ujian nasional.
Sistem pendidikan di Jepang prioritas utamanya adalah agar anak-anak taat pada aturan, etika, dan moral. Sedangkan kepintaran adalah prioritas kedua. Kepintaran hanya akan dikembangkan jika anak-anak itu secara etika dan moral telah siap.