Oleh : Prof. Dr. Asep Usman Ismail, MA
“Wal yakhsya alladziina law tarakuu min khalfihim dzurriyyatan dhi’aafan khaafuu ‘alayhim falyattaquu allaaha wal yaquuluu qawlan sadiidan” (QS. An-Nisa : 9)
Hendaklah orang beriman tumbuh perasaan cemas, takut, khawatir jika suatu saat wafat-Allah ambil durasi hidup yang singkat ini- lalu meninggalkan keturunan atau generasi yang lemah. ‘Zuriyat’ itu bisa bermakna anak, cucu atau generasi. Menurut Isfahani salah satu makna ‘dhiafa’ yaitu lemah pengamalan, pemahaman dan aktualisasi agama. Kelemahan bukan hanya dalam taraf kognitif saja tetapi masuk pada tataran afektif. Afektif melibatkan rasa, penghayatan, penjiwaan yang mendorong pengetahuan seseorang untuk berbuat sesuatu sebagai simbol ketaatan.
Dalam Al-Quran ada ancaman bagi orang-orang yang shalat, ‘fawailul lil mushallin’. Mengapa Allah menyatakan neraka Wail untuk yang sholat? Apabila shalatnya tidak berdampak pada kepedulian sosial. Shalat adalah ibadah yang sangat baik. Dalam hadis disebutkan ‘yang pertama dievaluasi Allah di hari kiamat adalah shalat’. Tetapi jika shalat hanya melahirkan kesalehan individualistis, ingin mendapat rahmat, ridha, kasih sayang untuk dirinya sendiri, Allah memberi kecaman.
Hubungan surat Al-Ma’un (ayat 4) dengan surat An-Nisa (ayat 9) bahwa setiap muslim harus cemas, gelisah dan takut jika ia wafat meninggalkan generasi yang lemah. Kelemahan yang pertama adalah menjadikan agama sebatas formalitas, seremonial dan rutinitas. Kelemahan kedua adalah kelemahan motivasi dan mentalitas. Butuh usaha yang keras untuk menciptakan generasi tangguh di masa mendatang.
Seandainya ada orangtua yang bekerja sebagai pegawai rendahan di suatu perusahaan, bekerjalah dengan jujur, tekankanlah keikhlasan dan profesional. Lalu iringi dengan doa semoga anak cucunya agar memperoleh kedudukan yang luhur dan mulia. Berikan kata, motivasi dan pendidikan yang sesuai dengan ajaran Al-Quran. Kata adalah doa, kata adalah power. Dalam Al-Quran disebutkan, ‘wayaqulu qaulan sadida’, berikan motivasi maka Allah akan memberikan solusi. Kemiskinan bukan hambatan.
Kemiskinan adalah dinamika yang harus dilewati. Seperti anak tangga yang dilewati menuju puncak. Jika kita menangani mereka dengan tulus dan penuh kasih sayang itu merupakan bagian ketakwaan kepada Allah, dan balasan bagi orang bertakwa adalah senantiasa mendapat jalan keluar, ‘waman yattaqillaha yaj’anlahu makhraja’. Membangun pendidikan, membangun sumber daya manusia, menangani kaum dhuafa dengan ikhlas, niscaya Allah akan memberikan solusi dari semua problem hidup yang dihadapi. Berikan kesempatan, berikan motivasi, dan berikan ruang berekspresi, kelak generasi sesudah kita meski berasal dari keluarga yatim/dhuafa bisa berkompetisi di kehidupannya.
Seorang ahli pendidikan dan filosof memberikan komentar singkat tentang yatim : yang dinamakan yatim itu bukan orang yang tidak punya bapak atau ibu. Tentu saja jika dilihat dari aspek hukum anak yang tidak memiliki orangtua biologis dinamakan yatim. Tetapi jika dilihat dari aspek pendidikan yang berbasis pengembangan diri, yatim adalah yang tidak memiliki ilmu, tidak terdidik dan tidak memiliki etika.
Ilmu itu harus menghasilkan perspektif 3 dimensi; masa lalu, supaya terhubung dengan peradaban yang telah dibangun para pendahulu; masa kini, supaya tahu masalah sekarang, dan semuanya harus diproyeksikan ke masa depan. Oleh karena itu, ada sejarahwan yang mencoba merumuskan rekayasa sosial untuk masa depan. Itu pentingnya ilmu. Ilmu tidak boleh berhenti pada ranah kognitif saja, meskipun akal sangat penting namun harus menyentuh rasa dan ruhani. Rasa adalah kecerdasan emosi, ruhani adalah kecerdasan spiritual.
Meskipun fasilitas fisik bisa terpenuhi malah terkadang lengkap dan mewah, tetapi jika tidak melahirkan adab maka muncul probadi yang egois. Beradab itu bisa dalam bentuk berkata santun, ramah, menyentuh sisi manusiawi dan sebagainya. Manusia modern itu cerdas, namun jika ia kehilangan kesantunan, etika, kepedulian, kebersamaan, empati dan simpati kepada sesama, hidupnya menjadi satu dimensi yaitu ‘Aku’. Jika terjadi, ini adalah krisis manusia modern dan menjadi kegelisahan kita bersama. ‘Aku’ membangun tahta yang luar biasa atas dasar egonya. Maka kata pengamat, pribadi tersebut dinamakan ‘yatim’. Secara bahasa yatim berarti sendiri. Pribadi egois dalam kesendiriannya dia itu disebut yatim. Tidak memiliki empati dan pengalaman bagaimana hidup bersama. Semoga anak-anak kita tumbuh laksana bunga yasmin. Bunga yang segar, bunga yang tumbuh mekar yang memiliki masa depan dengan modal iman, keterampilan, tekad dan motivasi yang kokoh. Insya Allah generasi di bawah asuhan kita adalah generasi yang benar-benar memahami filsafat cinta dan kasih sayang. Wallahu A’lam Bishshawab
* Disampaikan dalam ceramah Tarhib Ramadhan di PPSDMK, 19 Juni 2016