Di antara sifat-sifat mulia yang dianjurkan dalam Islam ialah sifat dermawan. Kedengarannya sederhana, namun tidak setiap orang mampu menjadi pribadi yang dermawan. Sebab menjadi dermawan tidak hanya berarti mampu memberi atau menolong orang lain, tapi lebih dari itu ialah menahan derita demi kesenangan atau kebahagiaan orang lain.
Kalau sekadar memberi, apalagi kalau kebetulan kita memiliki harta berlebih, itu bukanlah sesuatu yang luar biasa. Tapi kesanggupan untuk memberi pada saat kita sendiri kekurangan, itulah kedermawanan yang hakiki.
Sebagaimana diisyaratkan dalam al-Qur’an surat Ali Imran ayat 134: “(Yaitu) orang-orang yang mena_kahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orangorang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS Ali Imran [3]: 134)
Dalam sebuah riwayat diceritakan: Abdullah bin Ja’far pergi menengok kebunnya. Di tengah perjalanan, iamelihat seorang budak hitam yang tengah bekerja di kebun kurma. Budak itu membawa tiga potong roti sebagai bekal makanannya. Lalu seekor anjing mendekatinya, dan budak itu melemparkan sepotong rotinya kepada anjing itu dan dimakan. Kemudian setelah habis dimakan anjing, ia melemparkan sepotong lagi dan anjing itu melahapnya. Kemudian ia melemparkan sepotong rotinya yang ketiga pada anjing itu dan anjing tersebut melahapnya hingga habis.
Abdullah bertanya: “Berapa bekal makananmu setiap hari?” Jawabnya: “Hanya tiga potong roti.” Abdullah bertanya lagi: “Mengapa engkau memberikan semuanya kepada anjing itu, dan engkau sendiri tidak makan?” Ia menjawab: “Sebab di daerah kami tidak ada anjing, jadi aku pikir anjing ini pasti datang dari jauh dalam keadaan lapar, dan aku tidak mau mengusirnya.” Tanya Abdullah lagi: “Lalu, apa yang engkau makan hari ini?” Ia menjawab: “Aku berlapar saja sampai besok.” Kata Abdullah: “Benar-benar inilah yang namanya dermawan yang murah hati, dan budak ini lebih dermawan dari pada aku.” Akhirnya, Abdullah bin Ja’far membeli kebun itu dan segala isinya. Ia juga membeli budak itu dan memerdekakannya serta memberikan semua kebun beserta isinya kepada sang budak.
Cerita di atas menggambarkan sifat-sifat kemurahan hati (al-jud), seorang yang rela mengorbankan harta dan miliknya lebih banyak ketimbang yang ia miliki sendiri. Orang yang sampai kepada maqam al-jud posisinya lebih tinggi dari pada dermawan biasa (alsakha’), yang dapat mengorbankan sebagian kecil hartanya tetapi masih menyimpan sebagian besar lainnya. Kemurahan hati biasa juga disebut almuatstsir yaitu orang yang sanggup menanggung segala kesulitan dan bahaya demi mengorbankan segala kemampuannya.
Dengan demikian, al-Itsar (mengutamakan orang lain) merupakan peringkat tertinggi, kemudian urutan berikutnya adalah al-sakha’, sebagaimana firman Allah: “Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orangorang yang beruntung.” (QS al-Hasyr [59]: 9)
Kedermawanan bagi bagi orang-orang kebanyakan (awwam) sudah cukup, meskipun tidak tertutup kemungkinan untuk naik ke al-Jud. Kedermawanan sudah mampu mendekatkan diri seseorang kepada Tuhannya, sebagaimana sabda Rasulullah Saw:
“Orang yang dermawan dekat dengan Allah, dekat dengan surga, dekat dengan sesama manusia, dan jauh dari neraka. Sedangkan orang yang kikir jauh dari Allah, jauh dari surga, jauh dari manusia, dan dekat dengan neraka”.
Keterangan dari ayat dan hadis di atas menunjukkan betapa mulianya orang yang dikaruniai kemurahan hati (al-jud). Dalam era sekarang ini mungkin orang seperti ini langka. Yang banyak ditemukan ialah kebalikannya, yaitu kikir dan pelit. Bahkan banyak orang yang sesungguhnya sudah mampu, tetapi dirasuki kebiasaan meminta-minta; mereka suka menumpuk harta dan tanpa perasaan bersalah membiarkan hartanya menumpuk di bawah penguasaannya, sementara di sekitarnya banyak orang menjerit diterpa kemiskinan.
Di sekitar kita mungkin ada korban banjir, gempa bumi, atau musibah lain yang memerlukan perhatian dan bantuan, itu ujian bagi kita. Yang penting bantuan yang diberikan tidak ditenggelamkan oleh riya dalam bentuk iklan dan publikasi yang terkesan berlebihan.
Padahal, kalangan hukama’ berkata: “Tanamlah amal kebajikannya di bumi ketidakterkenalan jika anda ingin panen di akhirat. Semua amal kebajikan yang ditanam di bumi keterkenalan atau popularitas hanya akan panen di dunia, tidak lagi di akhirat”. Jangan sampai nilai popularitas dan prestisenya lebih menonjol ketimbang nilai keikhlasannya.
*Oleh Prof. Dr. Nasarudin Umar MA. dikutip dari buku, Khutbah-Khutbah Imam Besar. Pustaka IMaN.