Pendidikan di pondok pesantren makin disorot. Gara-garanya, BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) mensinyalir ada 19 pondok pesantren (ponpes) yang menyebarkan ajaran-ajaran Islam radikal. Menurut BNPT, ke-19 ponpes ini memanfaatkan ayat-ayat Al-Qur’an untuk mengesahkan tindakan-tindakan terorisme.
Meski BNPT tak menyebutkan pesantren apa saja yang terindikasi menyebarkan ajaran-ajaran terorisme, tapi sinyalemen BNPT tersebut jangan ditolak dulu. Maklumlah dari jumlah pondok pesantren yang 27.500 buah itu, mungkin ada saja yang mengajarkan “agama Islam” hanya dari sisi radikalnya saja. Tapi hal itu tidak berarti pondok pesantren identik dengan lembaga pendidikan agama yang radikal. Ibaratnya, kalau anda punya 10.000 pohon rambutan Ropiah, lalu ada dua atau tiga pohon yang buahnya pahit, hal itu jelas tidak bisa untuk menyimpulkan bahwa semua rambutan jenis Ropiah rasanya pahit. Meski demikian, adanya rambutan Ropiah yang rasanya pahit tersebut adalah fakta. Jadi, tokoh-tokoh Islam tidak perlu apriori dulu terhadap kesimpulan hasil sigi BNPT terhadap ponpes di Indonesia tersebut.
Setiap agama pasti punya ajaran radikal. Minimal klaim kebenaran terhadap ajaran ketuhanannya. Dalam ajaran Islam, misalnya, orang yang tidak mengakui bahwa Allah itu Esa dan Muhammad itu Utusan Allah, orang tersebut kafir. Orang kafir itu, menurut Alqur’an, pasti masuk neraka. Hal yang sama terjadi pada agama Kristen. Orang yang tidak mengakui Yesus sebagai Tuhan dan Allah sebagai Tuhan Bapa, maka orang itu kafir. Dan orang kafir pasti masuk neraka. Dua contoh ajaran tersebut jika dibenturkan, maka hasilnya saling mengafirkan dan saling memasukkan orang-orang yang berbeda agama itu ke dalam neraka.
Masih banyak ayat-ayat lain dalam Alqur’an dan Injil yang bila dibenturkan akan memercikkan api permusuhan. Karena itu, jangan membenturkannya. Kita tahu jumlah agama di dunia amat banyak dan ajaran-ajaran pokok ketuhanannya satu sama lain berbeda. Jika ajaran-ajaran tersebut dibenturkan, hasilnya dunia akan kacau balau! Kenapa terjadi? Karena, seperti ditulis Syaikh Khalil Abdul Karim, ulama Al-Azhar dalam bukunya “Al-Islam” — setiap agama pasti punya klaim eksklusivitas sebagai pemegang kebenaran.
Saat ini, Islam sedang menjadi tertuduh sebagai agama kaum teroris. Sekelompok orang yang memproklamirkan kehadiran Negara Islam di Irak dan Suriah (ISIS) melakukan teror di mana-mana mengatasnamakan Islam. Puluhan ribu orang dipancung hanya karena agamanya bukan Islam. Puluhan ribu orang Islam juga dipancung hanya karena pemahaman keislamannya pada “pokok-pokok ajaran tertentu” berbeda dengan kelompok ISIS. Anehnya, tak sedikit orang Indonesia yang terpikat paham radikal ISIS ini. Kasus terorisme di Jalan Thamrin, Jakarta Pusat, 14 Januari 2016 lalu menunjukkan bahwa ISIS telah bersemi di Indonesia. Dari gambaran itu, apa yang dikatakan BNPT, mungkin ada benarnya. BNPT menduga ada 19 pesantren yang menyebarkan ajaran-ajaran radikal. Pesantren dengan pengajaran Islam ‘radikal’ ini memang perlu diwaspadai karena merupakan tangga piramida terendah dalam terorisme.
Kita tahu, dalam piramida terorisme, ada tiga tangga langkah seseorang untuk menjadi teroris. Pertama, tangga pemikiran radikal. Tahap pertama ini baru wacana. Contohnya, orang yang berpikir bahwa umat Islam harus membentuk negara. Negara Islam ini hukumnya wajib dan bentuknya kekhalifahan seperti yang dicontohkan khulafa’ur Rasyidin. Padahal, tak satu pun ayat Alqur’an yang mewajibkan umat Islam membentuk negara Islam dalam bentuk kekhlifahan. Wacana kekhalifahan tersebut merupakan interpretasi dari sejumlah hadist yang tidak ada rujukannya dalam Alqur’an. Tapi karena cara pikirnya radikal, maka diyakini betul bahwa pandangannya tentang wajibnya negara khilafah adalah benar. Tangga piramida terorisme berikutnya adalah ekstrimisme pemikiran. Pada tahap ini penolakan terhadap pikiran yang berbeda dengannya mulai dilakukan dengan sikap anarkis, baik melalui lisan maupun tindakan. Mereka tidak hanya mengisolasi pemikirannya dari pemikiran mayoritas, tapi juga mengisolasi fisiknya dari publik. Sedangkan tangga piramida terakhir adalah terorisme. Pada tahap ini, penolakan terhadap orang-orang yang berbeda pemikirannya dengan mereka dilakukan dengan kekerasan, teror, ancaman bahkan hukuman mati. Inilah yang dilakukan kelompok ISIS sekarang.
Bila BNPT menengarai ada 19 pondok pesantren yang mengarahkan santri-santrinya menjadi teroris, maka hal seperti itu bukan tidak mungkin sama sekali. Mungkin ponpes tersebut tahapannya baru mengajarkan paham-paham dan pemikiran-pemikiran radikal, belum sampai tahap ekstrimisme pemikiran. Tapi hal itu sudah menunjukkan indikasi ke arah terorisme. Ponpes semacam ini jelas jumlahnya amat sedikit. Jika pun ada, hanya kasuistik. Tapi karena masalahnya menyangkut ajaran dan pendidikan terorisme, meski jumlahnya sedikit, tetap punya potensi bahaya yang besar. Kenapa? Satu manusia pun bisa menghancurkan sebuah negara. Hitler dan Mussolini adalah contohnya.
Adakah ponpes-ponpes semacam itu? BNPT tentu saja tidak asal bicara. Sebab BNPT juga punya ahli-ahli dan konsultan-konsultan yang berasal dari kalangan intelektual Islam modern dan ulama tradisional. Lengkap. Karena itu, pernyataan BNPT bahwa ada 19 ponpes yang terindikasi menyebarkan ajaran-ajaran radikalisme hendaknya menjadi keprihatinan kita semua. Keprihatinan bahwasanya Islam yang luas ini ternyata dipahami hanya dari sisi tertentu saja. Itu pun dari sisi radikalnya saja. Pribadi Nabi Muhammad yang sangat santun dan menyayangi sesama manusia, termasuk kepada manusia yang berbeda agama, tidak menjadi ibrah dalam perjalanan hidup kelompok radikal itu. Nabi Muhammad sendiri bersabda: Aku diutus Allah untuk memperbaiki akhlak manusia. Dan sesungguhnya Kamu (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung (Al-Qalam 4). Itulah hadist dan ayat Alqur’an yang menjelaskan tentang pribadi Rasulullah yang berakhlak mulia! Kita umat Islam wajib mengikuti akhlak Rasulullah. Bukan sebaliknya, mengikuti terorisme.