Ibarat sebuah proses pendidikan, puasa adalah pelatihan intensif untuk merealisasikan tiga tujuan utama pembentukan integritas pribadi Muslim yang utuh, yaitu penuh rasa kasih sayang, rasa syukur, dan tenang jiwanya. Demikianlah refleksi yang pernah disampaikan oleh almaghfurlah Prof. Muhammad Nursamad Kamba, yang akrab disapa Buya Nursamad (23 September 1958 – 20 Juni 2020).
Sebagaimana penjelasan Buya Nursamad dalam beberapa ceramah dan buku karyanya, tujuan pertama berpuasa adalah agar tercipta kasih sayang dalam diri manusia. Kedua, terciptanya kemampuan mensyukuri nikmat yang dapat menimbulkan sikap berapresiasi. Dan ketiga, terciptanya kepuasan diri secara lahir dan batin, yang dapat menimbulkan ketenangan jiwa serta kedamaian dalam hati.
Ketiga tujuan tersebut, menurut Buya Nursamad, digambarkan secara rinci dalam hadits Nabi Muhammad Saw., yang artinya: “Puasa pada awalnya rahmah (kasih sayang), pertengahannya maghfirah (ampunan), dan ujungnya falah (keberuntungan)”.
Rahmat atau kasih sayang adalah salah satu sifat Allah yang Agung—al-Rahman – al-Rahim—yang setiap saat kita bacakan, baik dalam pelaksanaan ibadah maupun memulai setiap aktivitas.
Tentang cinta kasih itu, Buya Nursamad menjelaskan, Allah berfirman dalam Al-Quran: “Katakanlah Muhammad, cinta kasih Tuhanku meliputi segala sesuatu”. Dalam ayat lain Allah berfirman: “Kataba ala Nafsihia r-Rahmah (Allah mewajibkan kepada diri-Nya cinta kasih).”
Allah berulang-ulang menyebut “cinta kasih” atau “kasih sayang” dalam firman-firman-Nya. Ini artinya, menurut Buya Nursamad, kasih sayang dan cinta kasih merupakan sendi kehidupan yang paling utama bagi manusia. Tanpa cinta kasih, maka komunikasi dengan Tuhan tak dapat diaktualisasikan.
Allah juga berfirman, yang artinya: “Katakanlah (Muhammad), jika kamu sekalian mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintaimu.”
Menurut Buya Nursamad, ayat ini berarti bahwa segenap kegiatan keberagamaan hendaknya didasarkan kepada cinta kasih. Semangat cinta kasih ini sejalan dengan pengertian ibadah, yang intinya adalah “pengabdian”.
Setiap pengabdian, haruslah didasarkan pada keikhlasan dan dilakukan secara sukarela serta tanpa pamrih. Dan sikap sukarela tak mungkin dibangun kecuali di atas sendi-sendi cinta kasih.
Oleh: Faried Wijdan