Manusia Meski tak banyak manusia sadar, sesungguhnya kehidupan manusia adalah perjalanan penuh kerinduan. Dimulai dari kejatuhan, dan disambung dengan keinginan pulang.
Ya, kehidupan manusia sesungguhnya adalah perjalanan pergi dan pulang, dari suatu tempat berangkat (mabda’) menuju suatu tempat kembali (ma’ad) yang tak lain adalah tempat-berangkatnya: manusia bersumber dan berawal dari Tuhan, untuk berjalan kembali kepada Tuhan lagi.
Firman Allah Swt.: “Sesungguhnya kita bersumber/kepunyaan/bagian dari Allah, dan sesungguhnya kepada Dialah kita akan kembali.” (QS. 2 : 156).
Kita tercipta – saya harus menyebutnya sebagai terpancar (teremanasi) — dari Allah, tertempatkan ke alam dunia, demi mencari jalan pulang kembali kepada-Nya. Dalam kebijaksanaan (hikmah) Islam, satu siklus lengkap perjalanan hidup manusia melewati dua busur yang membentuk sebuah lingkaran penuh : busur turun (al-qaws al-nuzul) dari Allah ke alam ciptaan; dan busur naik (al-qaws al su’ud) dari alam ciptaan kembali kepada Allah.
Seperti difirmankan-Nya: “Maka Dia pun mendekat, dan makin mendekat lagi. Maka jadilah jarak antara-Nya dan manusia (Dengan Muhammad Saw. dalam perjalanan mi’raj, sebagai representasinya) adalah dua busur panah, atau lebih dekat lagi.” (QS. 53 : 8-9).
Dalam kaitan ini, kebahagiaannya sepenuhnya terletak pada kelancaran perjalanan pulangnya. Kodrat manusia adalah damai dalam Kasih-sayang Tuhan, Sang Maha Rahman, Sang Maha Rahim. Keterpisahannya adalah penderitaan dan kesengsaraan. Meski tak banyak di antara kita menyadarinya.
Kita berjungkir-balik mengejar pencapaian dan kesenangan duniawi – menumpuk harta, meraih kekuasaan, menangguk popularitas – sebenarnya adalah ketersamaran terhadap kerinduan ini. Dia merasa akan mendapatkan kasih sayang yang didambakannya jika dia miliki semuanya itu. Kenyataannya semua itu hanya fatamorgana. Kebahagiaannya, kepuasannya, kedamaiannnya tak terletak di situ. Yang dia kejar tak kurang dari cinta yang sepenuhnya dapat dia andalkan. Cinta Tuhan. Cinta yang Sempurna.
Maka, pertaruhannya terletak pada seberapa besar dia bisa mendekati-Nya, dengan berusaha menjadi seperti-Nya. Menjadi memiliki akhlak-Nya: berakhlak dengan akhlak-Nya (al-takhalluq bi akhlaq Allah), menjadikan hatinya dipenuhi kasih-sayang terhadap sesamanya. Karena, hanya dengan mengembangkan kasih sayang dia baru memiliki kesempatan mendapatkan kasih-sayang-Nya.
Kata pesuruh-Nya: ” Barangsiapa tak menyayangi, tak akan disayangi.” Dan kasih-sayang-Nya terletak pada kasih sayang kepada sesama manusia, kepada sesama ciptaan-Nya. Masih kata Rasul-Nya: “Barangsiapa menyayangi yang di bumi, akan disayangi Yang Di Langit.”
Namun, senyampang perjalanan-jauh pulang kepada Sang Sumber, dia bisa dapati tempat pulang di bumi, di antara orang-orang yang menyayangi. Ibu, ayah, saudara, kerabat, sahabat. Mereka yang kita rasa menyayangi kita setulus hati, yang cintanya bisa kita andalkan. Yang kasih-sayangnya sesungguhnya merupakan pancaran kasih Tuhan. Yang ke dalam hati mereka, Tuhan pancarkan kasih-sayang-Nya.
Merekalah sumber kebahagiaan dan kedamaian di dunia. Maka, setiap ada kesempatan, kita selalu terdorong pulang kepada mereka. Sebagaimana arti-aslinya, keterasingan dari kekasih kita adalah laknat.
‘Idul Fitri – kembali ke fitrah — sesungguhnya berarti kembali ke Allah, karena atas fitrah-Nya fitrah kita diciptakan. (QS. 30 : 30). Mudik pun tak lain miniatur perjalanan kosmik kita untuk pulang kepada-Nya.
Maka sudah sepantasnya mudik mengingatkan kita padaNya. Bahwa di ujung perjalanan, menunggu Kekasih-sejati kita, Allah Yang Maha Pengasih, yang hanya dalam pelukan-Nya pupus sudah semua kerinduan kita, yang di haribaan-Nya, penuh sudah hasrat kita.
“Wahai jiwa yang tenteram. Pulanglah Engkau ke Pengasuh-Mu dengan rela dan direlai-Nya. Maka, masuklah ke dalam kelompok pemuja-Ku. Maka, masuklah ke surga-Ku.”
*Haidar Bagir