Belum lama ini sebuah sekolah dasar elit di Bumi Serpong Damai (BSD), Tangerang membangun perpustakaan di sekolah dasar swasta di daerah pinggiran Tangerang. Menurut pengelola SD elit tersebut, pihaknya sudah kelebihan buku. Orang tua murid sekolah elit ini pun rajin menyumbang buku ke sekolah yang mendidik anak-anaknya. Padahal, di sekitar sekolah elit tersebut masih banyak sekolah swasta yang miskin dengan fasilitas belajar yang minim. Langkah sekolah elit di Tangerang di atas patut mendapat apresiasi. Kepedulian sekolah elit pada sekolah miskin ini perlu disebarluaskan karena manfaatnya langsung bisa dirasakan sekolah-sekolah miskin tersebut.
Istilah sekolah miskin ini acuannya adalah sekolah yang muridnya sebagian besar orang miskin, gedung sekolahnya seadanya, tak ada fasilitas perpustakaan, jumlah buku ajar minim, dan guru-gurunya mengajar tanpa honor. Jika pun ada honor atau gaji, hanya untuk transport. Sekolah miskin macam ini di Indonesia jumlahnya cukup banyak. Bahkan di Jawa Barat, provinsi paling dekat dengan ibu kota pun, sekolah miskin seperti itu masih banyak terlihat di daerah-daerah di mana-mana.
Dalam dunia perkebunan, ada konsep PIR (Perkebunan Inti Rakyat). Dalam konsep perkebunan ini, ada inti (perusaan perkebunan besar yang kaya) dan rakyat (perkebunan yang dikelola rakyat miskin). Dalam konsep PIR ini, perkebunan ‘inti’ membantu kebutuhan perkebunan ‘rakyat’ agar tumbuh baik dan menghasilkan panen yang baik seperti halnya panen perkebunan besar. Hal yang sama terdapat pada konsep perkebunan plasma inti. Perkebunan plasma milik rakyat miskin dan perkebunan inti milik perusahaan kaya. Perkebunan inti membantu perkebunan plasma agar hasil panennya bagus sehingga bisa menjadi sandaran ekonomi rakyat miskin.
Seandainya konsep ini diterapkan dalam dunia pendidikan — seperti dilakukan sebuah sekolah elit di BSD Tangerang di atas – niscaya bisa memecahkan problema sekolah-sekolah miskin di daerah terpencil. Misal tiap sekolah elit di Jakarta – seperti sekolah-sekolah di bawah naungan Al-Azhar, LIPPO, Binus, Lazuardi, dan lain-lain – mempunyai “anak angkat” sekolah-sekolah di daerah terpencil di Jawa Barat dan Banten, niscaya kedua belah pihak akan saling diuntungkan. Bentuknya bisa membangun perpustakaan di sekolah miskin, menyumbang sarana permainan, laboratorium, dan membangun gedung sekolah. Dananya, bisa diambil dari keuangan sekolah elit yang berlebih atau mencari donatur dari wali murid sekolah elit tadi. Jelasnya, sekolah elit niscaya punya banyak akses dana untuk membantu sekolah miskin. Kerjasama model anak angkat ini bisa juga menyertakan siswa dengan kerjabakti atau sumbangan dana langsung ke sekolah miskin.
Keuntungan bagi sekolah elit adalah mempertajam kepekaan sosial peserta didiknya. Dengan mengajak siswa-siswa sekolah elit melihat dan berkenalan dengan siswa-siswa sekolah miskin, maka sekolah bisa mengajarkan kepedulian sosial secara langsung. Bukan sekadar teori. Di pihak lain, sekolah-sekolah miskin diuntungkan karena mendapat tambahan fasilitas pendidikan secara gratis seperti perpustakaan, saranan permainan, dan lain-lain.
Ya, namanya juga anak angkat. Anak angkat biasanya berasal dari orang miskin, sedangkan orang yang mengangkatnya, sering disebut ayah angkat, adalah orang kaya. Sama halnya sekolah. Sekolah angkat adalah sekolah miskin. Sedangkan ayah angkatnya sekolah elit. Pola kerjasamanya mengikuti hukum alam. Yang kaya membantu yang miskin. Atau yang kuat membantu yang lemah.
Selama ini bantuan untuk sekolah miskin berasal dari individu dan korporasi yang kaya. Dalam konsep anak angkat sekolah, bantuan kepada sekolah miskin bisa berasal dari individu maupun sekolah. Syukur-syukur ada interaksi positif antara murid-murid dan guru-guru dari kedua jenis sekolah itu sehingga keduanya bisa saling berbagi pengalaman dalam mengelola pendidian. Jika ini bisa dilakukan, masa depan Indonesia akan makin cerah!